Ghazwul Fikri : Penyimpangan yang Dibanggakan Dalam Naungan Kata Toleransi


OPINI, Sulselpos.id - Secara etimologis Ghazwul Fikri berasal dari kata ”Ghazwul” artinya perang, serangan, serbuan dan invasi. Sedangkan ”Fikri” adalah pemikiran. 

Ketika kata Ghazwul dan Fikri digabung menjadi satu maka artinya adalah perang pemikiran sedangkan secara terminologis Ghazwul Fikri bermakna penyerangan dengan berbagai cara terhadap umat Islam guna mengeluarkan mereka dari agamanya atau minimal menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai ajaran ilahiah yang dalam hal ini tentunya menjauhkan umat Islam dari ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah. 

Ghazwul Fikri sering juga disebut dengan perang intelektual, perang kecerdasan, perang otak, perang non konvensional atau perang tak terlihat (proxy war). Dimana senjata yang dipakai bukan pedang, pistol, tombak, keris, ataupun bom. 

Melainkan pemikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, propaganda, agitasi, dialog dan perdebatan yang bersifat defensif maupun opensif serta seruan ajakan bahkan campaign terhadap sesuatu yang nilai-nilainya berseberangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

Ghazwul fikri adalah salah satu bentuk perang modern yang sejak dahulu telah dikonstruk sedemikan rupa agar bisa masuk secara halus kepada generasi-generasi emas penopang masa depan agama dan negara. 

Berbagai macam bentuk atau jalan dari ghazwul fikri diantaranya adalah Pertama, Tasykik, yaitu menimbulkan keragu-raguan dan pendangkalan dalam jiwa kaum muslimin terhadap agamanya. 

Kedua, Tasywih, yaitu pengaburan. Caranya dengan penggambaran buruk tentang Islam untuk menghilangkan kebanggaan kaum muslimin terhadap Islam. 

Ketiga, Tadzwiib, yaitu pelarutan, pencampuradukan atau talbis antara pemikiran dan budaya Islam dengan pemikiran dan budaya Jahiliyyah. 

Keempat, Taghrib, atau westernisasi (pembaratan), yaitu mendorong kaum muslimin untuk menyenangi dan menerima pemikiran, kebudayaan, gaya hidup dan apa saja yang datang dari Barat (Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat : 2021). 

Selain itu, memanfaatkan perkembangan teknologi, sosial media dengan menyebarkan kedalam lini-lini aktivitas harian yang dikenal dengan istilah 4 F dan 5 S. yakni : fashion, fun, food, foundation, song, sinema, school, sex dan sport. 

Semuanya itu memiliki tujuan antara lain ialah, Ifsad al-Akhlak atau perusakan akhak, Tahzhim al-Fikrah penghancuran pemikiran, Idzabah al-Syakhsiyyah atau melunturkan atau melarutkan kepribadian, Al-Riddah atau penumbangan aqidah, al-wala lil kafirin, loyalitas kepada kaum kafir.

Berangkat dari pengertian dan penjelasan tentang ghazwul fikri diatas maka jika disandingkan pada kenyataan yang terjadi saat ini, semuanya rata-rata telah terjadi disadari maupun tidak disadari oleh umat Islam. 

Satu hal yang saat ini sedang gencar-gencarnya difarming dan diboomingkan melalui media sosial maupun campaign secara terang-terangan oleh para influencer dengan selalu membawa satu kata pemersatu bangsa yakni toleransi dan satu kata modern lainnya yaitu open minded. 

Pastinya kita sudah tidak asing lagi dengan kata-kata diatas karena seringnya dikampanyekan dan dibungkus dengan balutan suku kata yang paling indah namun ada maksud terselubung didalamnya. 

Hal tersebut adalah usaha untuk menormalisasikan dan mengakui keberadaan serta seruan untuk mendukung para pelaku dan pendukung penyimpangan seksual yang tidak asing lagi kita kenal sebagai LGBTQI+. 

Isunya terus diangkat dan dibahas secara ilmiah maupun dibuat konten hiburan yang layak dan normal untuk dinikmati sebagai salah satu hiburan yang wajar, terlebih lagi orang-orang yang menyuarakan kebebasan HAM dan kaum open minded yang dengan setia dan lantang menyuarakan keadilan untuk mereka ialah beberapa diantaranya merupakan seorang muslim dan muslimah. 

Sedangkan pada hakikatnya hal tersebut jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam. Kita terus didoktrin dengan paham-paham liberalisme dan sekulerisme yang lebih diperhalus dengan sebutan toleransi serta cinta kasih terhadap sesama. 

Isu kemanusiaan dan keadilan dijadikan garda terdepan untuk melindungi dan menjadi tameng bagi opini-opini dan pembelaan untuk mereka yang menginginkan kebebasan atas dirinya sendiri demi mencapai kebahagiaan dengan menghalalkan segala cara tentunya ini sangat berbahaya untuk masa depan bangsa dan negara.

Mari sedikit bertepi dan pikirkan kembali, sisi mana yang dianggap memanusiakan manusia serta sisi keadilan mana lagi yang layak diterima oleh mereka yang pada hakikatnya tidak menjalankan kodrat sebagai manusia yang sudah semestinya dilakukan oleh setiap manusia untuk mendapatkan hak-hak yang kita sebut sebagai hak asasi manusia. 

Mau berapa banyak lagi negara dan bangsa akan berkorban demi perbuatan mereka. Bahkan sekelas WHO saja baru-baru ini menyatakan dengan lantang mendukung kaum tersebut dengan dalih mereka adalah minoritas yang termarginalkan dan paling banyak menerima diskriminasi.

Hasil riset yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga dan institusi menuai banyak pro dan kontra tentang tanggapan dan perilaku kepada kaum pelangi, namun tidak ada satupun hasil riset yang menunjukan bahwa hasil dari hubungan sesama jenis ini membawa dampak positif bagi kesehatan, kemanan dan pendidikan. 

Justru malah sebaliknya berbagai permasalahan kemudian muncul akibat hubungan yang tidak fitrah tersebut terus dipelihara terutama dalam unsur kesehatan.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan yang dilansir dari detik.com  di tahun ini saja ada ratusan ribu kasus HIV yang tercatat sampai periode Juni 2022. Dari data tersebut, penyumbang terbesar untuk penyakit ini adalah dari kalangan homoseksual dan jarum napza suntik. 

Oleh karena itu sebagai seorang muslim yang kaffah seharusnya jangan sampai terkontaminasi dengan perang pemikiran yang sangat halus ia memasuki relung-relung pikiran dengan kata-kata toleransi dan open minded nya agar hal-hal yang bersfiat menyimpang menjadi hal yang normal. 

Islam sangat indah karena menoleransi perbedaan dan bukan penyimpangan. Islam juga menjunjung tinggi kemanusiaan dengan menerima para pelaku layaknya manusia dengan harapan untuk diobati dan bukan diterima karena mau diakui keberadaannya dan mau diberikan kebebasan untuk mencapai kebahagiaannya sedangkan yang lain mendapatkan imbas negatifnya. 

Cukuplah pelajaran dari orang-orang terdahulu menjadi contoh untuk kita agar tidak menjadi bagian dari mereka yang dimurkai oleh Tuhannya.

Penulis : Jhyza Tumiwa

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis

0 Komentar