Food Estase Gagalnya Revolusi Pangan, Solusi Palsu Atau Krisis Nyata

Makassar, SulselPos.id---Pemerintah Indonesia terus mendorong program Food Estate sebagai strategi besar untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.

 Proyek senilai Rp 1,5 triliun ini telah ditetapkan sebagai bagian dari Program Strategis Nasional (PSN) 2020–2024, dengan dasar hukum Perpres No. 108 Tahun 2022. Namun, pertanyaan kritis terus muncul: Apakah Food Estate benar-benar solusi atas krisis pangan, atau justru menambah masalah lingkungan dan sosial. 
Food Estate sejatinya bukan hal baru. Konsep ini telah muncul sejak era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto sebagai proyek lumbung pangan nasional, namun gagal terwujud dengan baik.

 Di era Presiden Joko Widodo, proyek ini kembali digulirkan dan dijalankan secara besar-besaran di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Papua. Berbagai kementerian lintas sektor dilibatkan, mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, Kemendesa PDTT, hingga Kementerian LHK dan BUMN. Bahkan, Menteri Pertahanan saat itu, Prabowo Subianto, ditunjuk sebagai koordinator proyek ini.

Namun, laporan dari berbagai lembaga menunjukkan bahwa proyek ini gagal memenuhi ekspektasi. Menurut investigasi CNN Indonesia (2024), banyak lahan yang dibuka tidak menghasilkan panen yang signifikan, terjadi kerusakan lingkungan masif, dan muncul konflik agraria dengan masyarakat adat.

Laporan WALHI dan Greenpeace menyebutkan bahwa banyak lahan gambut dibuka paksa tanpa studi lingkungan yang memadai. Salah satu kegagalan mencolok terjadi di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, di mana lahan 600 hektar untuk penanaman singkong kini terbengkalai dan tidak dapat dimanfaatkan kembali.

Melalui lensa Teori Pembangunan Berkelanjutan dari Wheeler dan Beatley (2021), program ini dapat dinilai dari tiga indikator utama: efisiensi sumber daya, integrasi sosial-ekonomi, dan partisipasi publik.

Pertama, dari aspek efisiensi sumber daya, Food Estate gagal total. Lahan subur rusak, irigasi tidak efisien, dan penggunaan alat berat justru memperparah degradasi tanah. 

Ekosistem lokal terganggu, dan karbon yang tersimpan di lahan gambut dilepaskan ke atmosfer dalam jumlah besar.

Kedua, dari segi integrasi sosial dan ekonomi, program ini lebih berpihak pada aktor korporasi dan militer. Masyarakat lokal justru kehilangan hak atas tanah dan akses sumber daya, tanpa mekanisme kompensasi yang adil. Ketimpangan sosial dan kerentanan ekonomi malah meningkat, bukan sebaliknya.

Ketiga, partisipasi publik nyaris nihil. Proyek dirancang secara top-down dan tidak melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan hingga implementasi. Menurut WALHI, masyarakat lokal sebenarnya mengetahui komoditas yang cocok ditanam di lahan mereka, namun suara mereka tidak pernah didengar oleh birokrat pusat.

Ketiga kegagalan ini menunjukkan bahwa Food Estate bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, sebagaimana ditekankan oleh Wheeler dan Beatley.

 Alih-alih menjadi solusi, Food Estate justru menambah masalah—baik bagi lingkungan, petani, maupun masyarakat adat.

 Food Estate lebih tepat disebut sebagai ilusi kebijakan yang ditampilkan dalam kemasan megastrategi, tetapi lemah dari sisi implementasi, keberlanjutan, dan keadilan sosial.

 Pemerintah perlu segera mengevaluasi proyek ini secara menyeluruh dan mulai mengedepankan pendekatan alternatif berbasis agroekologi, kedaulatan pangan lokal, dan partisipasi rakyat. 

Karena pembangunan pangan sejati bukan sekadar proyek mercusuar, melainkan proses jangka panjang yang adil, inklusif, dan berkelanjutan
ADVERTISEMENT