Dari Agrarischewet ke UUPA: Refleksi Hari Tani Atas Konflik Agraria Kini
Makassar, Sulselpos.id- Hari Tani Nasional diperingati setiap 24 September, ditetapkan melalui Keppres No. 169 Tahun 1963 oleh Presiden Soekarno sebagai bentuk perayaan atas lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 dan mengakhiri Agrarischewet pada tahun 1870 sebagai produk hukum kolonial yang selama puluhan tahun melegitimasi perampasan tanah rakyat demi kepentingan kelompok tertentu.
Agrarischewet yang dibuat oleh golongan borjuasi liberal Belanda pada saat menduduki Stateen General atau parlemen pada tahun 1870 semata-mata untuk melegitimasi kepemilikan atas tanah di negara jajahan, sebagaimana bill of inclosure of commons yang terjadi di Inggris, sama-sama berfungsi sebagai pendukung legal komodifikasi atas tanah.
Agrarischewet memainkan pentas sejarah yang begitu kelam bagi masyarakat akibat represivitas dan perampasan yang kerap kali terjadi demi kepentingan kelompok tertentu, seperti perkebunan komoditas ekspor, pertambangan mineral, dan pusat-pusat industri lainnya.
Kelahiran UUPA tahun 1960 yang mengakhiri Agrarischewet tahun 1870 sudah seharusnya menjadi tonggak penting dalam pentas sejarah agraria Indonesia untuk mewujudkan reforma agraria, yaitu penataan kembali penguasaan atas tanah serta melepaskan diri dari konflik-konflik agraria demi mewujudkan keadilan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, khususnya petani.
Konflik agraria bukan lagi hal yang baru. Ia hadir sebagai teks, ditafsir sebagai relasi kuasa yang telah merasuk ke relung-relung kehidupan kita. Begitu kompleks, struktural, dan multidimensi. Konflik agraria yang selalu muncul dan terus berulang di berbagai wilayah Indonesia menandakan ada persoalan yang kronis yang menyebabkan konflik yang sudah ada tak kunjung selesai.
Jika kita menelaah konflik agraria, selalu ada pengulangan kejadian kekerasan yang sama dan direspon sebagai tindakan kriminal atau perbuatan melawan hukum.
Berulang maupun meningkatnya jumlah konflik agraria memperlihatkan bahwa penanganan konflik agraria yang ada belum efektif serta lemahnya payung hukum dalam menyikapi konflik-konflik agraria. Di lain sisi, akar dari konflik terus dirawat oleh kelompok tertentu.
Senada dengan itu, semakin meningkatnya intensitas kekerasan dalam setiap konflik memperlihatkan wajah represivitas negara yang berimplikasi pada pelanggaran hak asasi manusia.
Kasus Pulau Rempang menjadi contoh nyata. Konflik lahan antara masyarakat adat dengan investor PT Makmur Elok Graha terkait pembangunan Rempang Eco-City.
Masyarakat menolak relokasi karena tanah adat mereka memiliki nilai sejarah, budaya, dan tentu saja untuk keberlangsungan hidupnya. Ironisnya, alih-alih mengakui hak ulayat yang diatur Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA, pemerintah justru mendukung relokasi untuk Rempang Eco-City dengan dalih Proyek Strategis Nasional (PSN).
Kasus Rempang ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia karena menghilangkan hak atas tempat tinggal ruang hidup melalui pola-pola praktik penggusuran paksa masyarakat adat, represivitas aparat, penggunaan gas air mata berlebihan, serta penangkapan dan penahanan masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap proyek pembangunan Rempang Eco-City. Tindakan tersebut melanggar berbagai hak sipil, sosial, ekonomi, dan budaya yang diakui secara internasional, termasuk hak atas tempat tinggal, pekerjaan, dan keamanan.
Akumulasi dengan jalan perampasan merupakan pintu bagi kelompok tertentu untuk memperkaya diri. Tanah-tanah yang awalnya merupakan lahan hidup kaum tani atau masyarakat adat dialihfungsikan menjadi lahan-lahan perkebunan komersial, pertambangan, atau pusat-pusat industri yang dilegitimasi melalui peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) adalah contoh konkret. UU Minerba justru menguntungkan kelompok tertentu, bukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dapat dilihat dari pemberian konsesi pengelolaan tambang melalui Pasal 162 UU Minerba No. 3 Tahun 2020 yang mengatur sanksi pidana bagi masyarakat yang mengganggu kegiatan pertambangan.
UU Minerba ini menunjukkan kecenderungan sentralisasi kewenangan, yang mengurangi kontrol dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam mereka sendiri.
Apa jadinya jika produsen dipisahkan dari sarana produksinya? Tidak ada pilihan lain selain menjual tenaga kerjanya dengan bayaran upah yang murah. Hal inilah yang disebut Marx sebagai akumulasi primitif, yang secara fundamental menjadi cikal bakal terciptanya kemiskinan struktural.
Maka dari itu, kehadiran UUPA seharusnya menjadi legal spirit untuk mewujudkan amanat konstitusi sebagaimana tertuang pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Namun demikian, dalam perjalanannya UUPA tidak dijalankan sebagai legal spirit. Konflik-konflik agraria terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Peralihan rezim politik dari Orde Lama ke Orde Baru, kemudian Reformasi, hingga rezim saat ini justru memperlihatkan bahwa angka konflik agraria semakin meningkat karena ditopang oleh sistem ekonomi kapitalistik dan sistem politik yang otoriter, sehingga mengaburkan pemaknaan dan pelaksanaan pembaruan agraria sejati.
Amanat konstitusi harus dijadikan sebagai legal spirit dalam mengelola dan mengatur kepemilikan tanah serta penggunaannya untuk kemakmuran rakyat. Sebab, sejatinya kehadiran hukum adalah untuk menjinakkan kekuasaan telanjang dan menunjukkan bagaimana kekuasaan harus diatur. Potentia debet sequi justitiam, non antecedere (kekuasaan mengikuti hukum dan bukan sebaliknya).
artinya kehadiran hukum untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap individu. Sebab, potentia non est nisi ad bonum (kekuasaan diberikan untuk kebaikan publik) dan sequi debet potentia justitiam, non praecedere (kekuasaan harus mengikuti keadilan, bukan sebaliknya).
Tulisan ini saya akhiri dengan adagium: Vox audita perit, littera scripta manet.
Penulis : Sulfikar A, Alumni UIN Makassar