Meneladani Moralitas Keberagaman Ibrahim dan Anaknya

Ahmad Raihan
OPINI, Sulselpos.id - Peristiwa penyembelihan hewan qurban setiap tahun atau hari Raya Idul Adha bagi umat muslim menyimpan kenangan historis tersendiri pada sosok Ibrahim. 

Begitu juga pada agama lain khususnya agama samawi (Yahudi dan Kristen) yang mengafirmasi peristiwa ini. Menandakan bahwa doktrin penyembelihan anak Ibrahim menjadi tradisi pada agama-agama tersebut dan dipertahankan sampai sekarang (walaupun ada perdebatan terkait Ishaq atau Ismail yang ingin disembelih). 

Mengingat juga sosok Ibrahim atau Abraham menjadi begitu sentral dalam tradisi agama Yahudi dan Kristen. Semua agama tersebut mengklaim bahwa ajarannya hari ini adalah warisan corak keberagamaan Ibrahim yang monotheistik.

Tetapi kecendrungan doktrinal tersebut jangan sampai membawa pada sikap yang fanatik tanpa memahami secara filosofis apa yang kemudian menjadi pesan moral atau ibroh pada peristiwa dramatis itu. 

Perenungan filosofis itu secara radikal mewujud pada pertanyaan, “bagaimana mungkin seorang ayah ingin menyembelih anaknya?" bagaimana mungkin Tuhan menyuruh seseorang untuk menyembelih anaknya”? “kok bisa agama-agama membela Ibrahim dan melanggengkan peristiwa itu”?, bukankah itu amoral? “Bukankah itu tidak manusiawi karena menghilangkan nyawa orang terlebih itu adalah anaknya sendiri”. 

Tetapi itu kemudian diceritakan dengan dalih untuk menguji iman nabi Ibrahim dan anaknya.

Mari kita kroscek doktrin agama ini dan memetik hikmah apa yang kemudian bisa kita amalkan. Peristiwa itu sangat eksplisit terekam dalam Q.S. As shaffat : 101.

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata :”Hai anakku sesungguhnya aku melihatmu dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. 

Maka pikirkanlah apa pendapatmu!. Ia menjawab :”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.

Nampaknya Al-Qur’an betul-betul menggambarkan Ibrahim dan Ismail sebagai sosok yang seolah-olah tau konsekuensi berserah diri di jalanNya atau setidaknya mempunyai kesadaran intuitif terkait pengabdian hidup di jalan Allah akan memberikan keselamatan.

Yang mendasari ketaatan Ibrahim dan Ismail adalah keikhlasan. Tentu dalam Al-Qur’an (q.s Al a’raf : 29) Ikhlas menjadi ciri kuat pribadi muslim (orang berserah diri). Seolah Tuhan memberikan kesempatan bagi Ibrahim melalui mimpinya untuk anaknya menjadi syahid. 

Jadi jika Tuhan menguji keikhlasan keduanya maka mereka lolos ujian tanpa harus sampai proses akhir. 

Selain itu, ayat itu juga mencerminkan keterbukaan Ibrahim kepada Ismail terkait mimpi yang dialaminya. Ismail bisa saja menolak perintah itu dan tidak mengizinkan ibrahim melakukannya. 

Tetapi karena mereka yakin konsekuensi keikhlasan hidup di jalan Tuhan maka mereka menghendakinya. Olehnya, peristiwa tersebut tidak bisa dipahami sebagai pembunuhan sebagaimana yang kita pahami.

Dalam tradisi Islam melalui Al-Qur’an kita memahami bahwa peristiwa itu didasarkan atas kepedulian dan kesejahteraan orang lain.

Adapun sifat keberagaman nabi Ibrahim sebagai seorang yang ikhlas tentu sulit untuk diimplementasikan karena melibatkan kesukarelaan tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni. 

Orientasi aktivitas manusia yang ikhlas adalah menghasilkan peradaban yang baik. Selain itu, keterbukaan bagi muslim harus menjadi pilar utama dalam mengemban amanah sebagai hamba sekaligus khalifah. Eksklusifisme akan melahirkan sikap intoleran dan memantik permusuhan.

Olehnya mengimani nabi-nabi termasuk nabi Ibrahim dan Ismail menguatkan ukhuwah sesama manusia sebagai warisan akan menegakkan tiga visi Islam yaitu keadilan (justice) kesetaraan (equality) dan persatuan (unity)
Tentu banyak lagi yang bisa kita jadikan teladan dari muslim sekaliber Ibrahim dan Ismail bagi pembaca.

Penulis : Ahmad Raihan
(Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*

0 Komentar