Pentingkah Menulis Gelar (Akademik) di Undangan Pernikahan?

Arifuddin Balla
OPINI, Sulselpos.id - Saya menikah tiga bulan lalu. Tentu saja ini bukan berita penting karena saya bukan Atta Halilintar atau Raffi Ahmad. Tetapi, terlepas siapa pun yang menikah, pernikahan akan selalui didahului dengan undangan, kecuali nikah kontrak atau nikah siri. 

Dalam undangan tertulis nama Anda dan calon pasangan, entah pasangannya pilihan sendiri atau pilihan keluarga. Bagian yang paling dinanti-nantikan adalah saat namamu dicetak di kertas undangan. 

Berbeda dengan saat mendaftar CPNS (Calon Pegawai Negeri Swasta Sipil) atau beasiswa, penulisan nama di undangan bisa suka-suka. Bisa jadi nama yang banyak dikenal, yang tercatat di KTP, atau pun karena alasan lain. Undangan bisa menjadi kesempatan untuk mempertunjukkan nama seperti apa yang kamu ingin orang lain tahu atau ingin dikenal. Jika di dokumen resmi, kau terlanjur tak punya kuasa menentukan nama karena sudah tertulis di akta kelahiran, undangan pernikahan memungkinkan untuk menambahkan atau mengurangi nama tanpa melalui proses pengadilan. 

Tidak akan ada yang menggugat. Tidak akan ada yang memverifikasi kesamaan dan kebenaran data di akta kelahiran atau ijazah. Undangan tidak harus melewati proses screening sebelum disebar. 
Pilihan ini seharusnya memberikan ruang seseorang untuk menambahkan atau mengurangi nama di undangan dengan bebas, seperti gelar, baik gelar keningratan atau gelar akademik. Umumnya di tempat saya, sebagaimana juga di tempat-tempat lain di Indonesia, penulisan nama di undangan dilengkapi dengan pelekatan gelar-gelar akademik. 

Saat saya masih SD-SMP dan tinggal di rumah keluarga berada di Kota Watampone, kampung Jusuf Kalla, saya memperhatikan rupa-rupa undangan. Sebagai keluarga berada, maka sebagian besar undangan yang datang lebih banyak undangan ekslusif. Dengan tulisan berwarna emas dengan rupa-rupa gaya tulisan. Dari sinilah saya mengenal dan meniru banyak tulisan indah. Hal yang kemudian sering dipuji orang. Sesekali dilebih-lebihkan seperti tulisan komputer. Di lain waktu menjadi beban jika diminta menuliskan surat lamaran kerja. 

Dari undangan-undangan itu pula saya kemudian berkenalan dengan aneka gelar-gelar akademik, kebangsawanan, dan keagamaan.  Gelar akademik misalnya, dahulu saya cuma tahu SE dan S.Pd ternyata ada pula jenis-jenis gelar akademik yang lain seperti S. Kom, S. Apt, Ners, A.Md, M. Litt dan seterusnya. Selain gelar, biasanya diikuti dengan penulisan pekerjaan dan profesi di bawahnya, Direktur PT Cinta Mundur misalnya.  
Pencantuman gelar akademik sudah menjadi tradisi dalam masyarakat, termasuk dalam keluarga saya sendiri.

Maka ketika saya memutuskan sebagaimana saya inginkan sejak dulutidak mencantumkan gelar akademik dalam undangan, hanya menuliskan keluarga besar sebagai pengundang, dan tidak mencantumkan pekerjaan atau profesi. Tak pelak hal ini kemudian dianggap melenceng. Beberapa dapat mengerti, beberapa lainnya tidak. Melawan tradisi yang dulunya bukan tradisi memang tidak akan selalu mudah. 
Sikap ini memang bukan hal yang diharap-harapkan. Apalagi setelah menyelesaikan studi di Amerika Serikat dengan gelar yang tidak ada di Indonesia, (MA TESOL), gelar ini bisa jadi sumber kebanggaan, kalau bukan sedikit kesombongan. 

Aduhhh kenapa tidak tulis gelarmu.
Sayang jauh-jauh sekolah ke Amrik tapi gelar tidak ditulis di undangan.
Dan saya cuma senyam senyum menjawab,

Yah dak ji.”

Jawaban itu tentu saja bukan jawaban yang memuaskan. Bagi persepsi mereka, gelar itu diperoleh dengan susah payah dan berdarah-darah. Satu hal yang tidak dapat saya tampikkan memang. Merantau sejak kecil dan menumpang di rumah orang demi pendidikan, membiayai pendidikan sendiri sampai mendapat beasiswa untuk studi master di Amrik adalah sebuah jalan panjang. 

Namun, hal itu pula yang membuat bisa dengan keras kepala menolak mencantumkan gelar. Tak ada yang dapat memaksa saya, lah wong gelar-gelar itu saya raih dengan pikiran dan hasil keringat saya sendiri.  Jadi hak perogratif saya untuk mencantumkan atau tidak. Pendapat saya ini tentu saja subjektif dan bukan berarti mereka yang mencantumkan gelar salah. Menuliskan gelar di undangan adalah hak setiap orang dengan alasan-alasan tertentu. Setiap dari kita memiliki nilai-nilai hidup yang berbeda. 

Gelar-gelar yang saya miliki adalah gelar akademik dan pernikahan bukan konteks akademik. Tidak ada urusan akademik dalam perkawinan. Akademik dan pernikahan adalah dua hal yang berbeda. Tentu saja, ini pendapat pribadi saya. 
Pendidikan seringkali disimbolkan dengan gelar-gelar akademik. Gelar-gelar ini dapat menaikan status sosial dalam masyarakat. Barangkali sama dengan gelar keagamaan seperti haji atau keningratan seperti Andi (Bugis-Makassar). Gelar-gelar ini dapat dengan sendirinya membuat orang lain minder dan si empunya gelar bisa merasa lebih tinggi. Satu jenis perasaan yang bisa berbahaya. 

Masih ada beberapa keluarga saya yang tidak pernah menyentuh bangku sekolah. Mereka tinggal di pelosok dengan penerangan seadanya. Saya tidak ingin membuat mereka merasa minder ketika diundang. 

Pernikahan adalah momentum berbahagia dengan status apapun yang Anda dan tamu undangan miliki. Bukan ajang untuk menunjukkan kelas dan status. Saya ingin tak ada jarak dan jurang. Saya ingin keluarga saya tetap mengenal saya seperti dahulu. Saya ingin mereka menghargai dan menghormati saya karena sikap dan akhlak saya, bukan karena gelar-gelar saya. 

Tentu saja, semua ini tak lepas dari niat. Saya yakin banyak yang menuliskan gelar tanpa ada niat menyombongkan diri. Hanya saja, saya yang merasa imannya lemah gemulai ini sangat rentan dengan kesombongan. Sebagai alumni Amrik yang kadang-kadang terkenal arogan, gelar-gelar itu bisa membuat saya jumawa dan lupa diri sebagai anak kampung yang sejujurnya tak punya apa-apa. 
Atau jangan-jangan tidak menuliskan gelar bisa menjadi sumber kesombongan yang lain? Saya tidak tahu, saya hanya memegang nilai-nilai yang saya yakini. 

Penulis : Arifuddin Balla
Dosen Institut Parahikma Indonesia Gowa

0 Komentar