Kekerasan Pada Kaum Buruh Perempuan : Refleksi 31 Tahun Kematian Marsinah

                      Gambar Ilustrasi

OPINI, Sulselpos.id - Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik pada masa Orde Baru, bekerja pada PT Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993, setelah menghilang selama tiga hari. 

Mayatnya ditemukan di hutan yang berada di Wilangan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.

Marsinah dikenal karena keberaniannya dalam menyuarakan keluhan dan ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja yang buruk dan penindasan yang dialami oleh banyak pekerja. 

Dia juga turut aktif dalam memobilisasi rekan-rekannya untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Keterlibatannya dalam gerakan buruh membuatnya menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan di kalangan pekerja.

Seandainya Marsinah masih hidup pada masa sekarang, sudah ada Komnas Perempuan dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, saya yakin putusannya akan lebih adil. 

Seuntai kalimat yang menghadirkan kenangan pada sosok aktivis pejuang hak buruh itu muncul dari Sution Usman Aji, dalam peluncuran dan diskusi publik buku referensi Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, Jumat (20/11).

Kronologi kematian marsinah
Kronologi penculikan Marsinah pada tahun 1993 tidak terlalu jelas karena kejadian tersebut masih dikelilingi oleh banyak pertanyaan dan spekulasi. 

Namun, berdasarkan laporan-laporan yang ada dapat dilihat beberapa tahapan yang mungkin terjadi :

8 Mei 1993 : Marsinah, seorang pekerja pabrik dan aktivis buruh, meninggalkan tempat kerjanya di daerah Sidoarjo, Jawa Timur, pada malam hari. Ini merupakan kali terakhir ia terlihat hidup.

Penculikan : Marsinah diculik di sekitar tempat kerjanya atau saat dalam perjalanan pulang ke rumahnya setelah bekerja. 

Tidak ada saksi mata yang melihat penculikannya secara langsung dan keberadaannya menjadi tidak diketahui oleh keluarga dan teman-temannya.

Periode Pencarian : Setelah Marsinah tidak kembali ke rumahnya dan tidak memberi kabar, keluarganya mulai mencari keberadaannya. Pencarian dilakukan oleh keluarga, teman-teman dan masyarakat setempat.

Penemuan Jasad : Tujuh hari setelah Marsinah menghilang, jasadnya ditemukan dalam kondisi yang sangat mengenaskan di sebuah hutan di daerah yang sama. 

Tubuhnya ditemukan dengan luka-luka yang parah, termasuk luka bakar, patah tulang, dan luka-luka lainnya, menunjukkan bahwa ia telah mengalami penyiksaan sebelum kematiannya.

Kronologi penculikan Marsinah tidak dapat dipastikan secara detail karena kurangnya bukti dan saksi mata yang jelas. 

Namun, keberadaannya yang hilang dan penemuan jasadnya yang tragis menunjukkan bahwa ia menjadi korban kekerasan yang sangat mengerikan. 

Kasus ini tetap menjadi salah satu misteri yang belum terpecahkan dan menyisakan banyak pertanyaan dalam sejarah Indonesia.

Pada 3 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas dengan tanda-tanda penyiksaan di sebuah hutan di Wilangan, Nganjuk.

Kematian Marsinah memicu gelombang protes dan simpati dari berbagai kalangan, baik di dalam negeri maupun internasional. 

Banyak yang percaya bahwa Marsinah dibunuh karena aktivitasnya sebagai aktivis buruh, meskipun sampai saat ini kasus kematiannya belum terungkap sepenuhnya dan pelaku sebenarnya belum dihukum.

Penyiksaan brutal yang dialami Marsinah mencerminkan kekejaman dan ketidakadilan yang dihadapinya sebagai seorang aktivis buruh. 

Kasus ini tidak hanya mengungkapkan risiko yang dihadapi oleh mereka yang memperjuangkan hak-hak buruh, tetapi juga menunjukkan kekerasan berbasis gender yang sering kali menjadi bagian dari ancaman terhadap perempuan yang berani menentang ketidakadilan sosial. 

Perempuan aktivis sering kali menghadapi ancaman yang berbeda dan lebih berat dibandingkan laki-laki, termasuk bentuk kekerasan seksual atau kekerasan fisik yang terkait dengan gender mereka.


Hasil visum luka yang di derita Marsinah
hasil visum et repertum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. 

Luka itu menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut. 

Di dalam tubuhnya ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu, selaput dara Marsinah robek. 

Kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter setelah dimakamkan, tubuh Marsinah diotopsi kembali. 

Visum kedua dilakukan tim dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Menurut hasil visum, tulang panggul bagian depan hancur. Tulang kemaluan kiri patah berkeping-keping. 

Tulang kemaluan kanan patah. Tulang usus kanan patah sampai terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya. Labia minora kiri robek dan ada serpihan tulang. 

Ada luka di bagian dalam alat kelamin sepanjang 3 sentimeter juga pendarahan di dalam rongga perut.

Kelanjutan Kasus Marsinah

Penyelidikan awal dilakukan oleh kepolisian setempat. Otopsi menunjukkan bahwa Marsinah mengalami kekerasan fisik yang berat, termasuk patah tulang dan kerusakan pada organ dalam. 

Namun, penyelidikan awal tidak segera mengarah pada penangkapan pelaku yang bertanggung jawab dan beberapa buruh dan karyawan PT Catur Putra Surya (CPS), tempat Marsinah bekerja, ditangkap dan diinterogasi. 

Namun, metode yang digunakan dalam interogasi ini mendapat kritik keras karena diduga melibatkan pemaksaan dan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan.

Pada Juli 1993, beberapa petinggi PT CPS dan buruh lainnya didakwa terlibat dalam pembunuhan Marsinah. Dalam persidangan, terungkap bahwa para terdakwa mengaku bersalah di bawah tekanan dan penyiksaan. 

Pada tahun 1994, Pengadilan Negeri Surabaya memutuskan hukuman penjara bagi beberapa terdakwa. Namun, keputusan ini penuh kontroversi karena banyak yang percaya bahwa pengakuan para terdakwa didapatkan secara paksa.

Pada tahun 1995, Mahkamah Agung Indonesia membatalkan vonis tersebut dan membebaskan semua terdakwa dengan alasan bahwa pengakuan mereka diperoleh melalui penyiksaan. 

Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa bukti yang diajukan selama persidangan tidak cukup kuat untuk mendukung dakwaan.

Upaya dan pencegahan agar tidak terjadi hal serupa

Kasus Marsinah menjadi salah satu contoh nyata dari pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakadilan di tempat kerja. Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, berbagai upaya dan tindakan perlu diambil oleh pemerintah, perusahaan, serikat pekerja dan masyarakat. 

Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dilakukan :

1. Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum
2. Pengawasan yang Lebih Ketat
3. Pemberdayaan Serikat Pekerja
4. Perbaikan Kondisi Kerja
5. Pendidikan dan Kesadaran
6. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
7. Dukungan Internasional

Dengan mengimplementasikan langkah-langkah ini secara konsisten, diharapkan kasus pelanggaran hak-hak buruh seperti yang dialami Marsinah tidak akan terulang lagi. 

Peningkatan kesadaran, regulasi yang kuat dan penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk menciptakan lingkungan kerja yang adil dan manusiawi.

Cerita Marsinah adalah refleksi dari keberanian dan pengorbanannya sebagai seorang aktivis buruh yang memperjuangkan hak-hak pekerja. 

Kasus ini tetap menjadi simbol penting dalam perjuangan melawan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.


Penulis : Anata Dzawil Adyan
(Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis

0 Komentar