Isu yang Menjerit, Mendebar Ancaman Kesehatan Stanting di Nusa Tenggara Timur

Muhammad Dwi Aprinandhi


OPINI, Sulselpos.id - Indonesia adalah negara yang memiliki penduduk terbesar keempat didunia saat ini, membentuk rimbuh dan riuk kehidupan yang berkecamuk menghantarkan berbagai persoalan bangsa yang hingga kini menjadi perbincangan di setiap waktu dalam detik kehidupan.

Rasa ini megundang keprihatian yang besar terhadap kami sebagai generasi muda yang akan menjadi emas brilian di era yang belum kita bisa mengetahui kapan kita bisa menghampirinya, bisa saja hari ini, besok atau hari-hari berikutnya. 

Secara Spesifik terdapat 34 provinsi yang menjadi basis tempat manusia untuk bertahan di negeri ini, menjadi dambaan cakrawala langit kehidupan yang memberikan sebuah rindu yang bergejolak di setiap langkah demi langkah untuk bertahan hidup. 

Sebuah cerita yang lahir dari sodara kita di NTT tentang isu yang menjerit bahkan setiap tahunnya masuk 3 besar Provinsi dengan tingkat stanting yang begitu tinggi, menjadi pekerjaan rumah yang begitu lumayan berat bagi pemerintah provinsi NTT. 

Isu stanting ini memberikan berbagai kritikan yang timbul salah satunya kami sebagai seorang aktivis akademik melihat kasus tersebut. 

Stunting bukanlah kutukan, padahal stunting bisa dicegah sedini mungkin. Jika semua aspek dari hulu hingga hilir, potensi munculnya stunting bisa diantisipasi dengan baik maka setiap keluarga bisa terhindar dari lahirnya bayi-bayi stunting.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), stunting adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi yang berulang dan stimulasi psikososial yang tidak memadai. 

Anak-anak didefinisikan terhambat gizinya jika tinggi badan mereka terhadap usia lebih dari dua deviasi standar, di bawah median standar pertumbuhan anak.

Pemeriksaan calon pengantin 3 bulan sebelum menikah menjadi aspek hulu yang hisa dilakukan untuk untuk “mengantisipasi” potensi lahirnya bayi-bayi stunting. Tindakan yang tepat selama proses kehamilan, lahirnya buah hati hingga 1.000 hari pertama kehidupan, menjadi kunci lahirnya bayi-bayi sehat. 

Belum lagi masalah sanitasi, masalah jamban, persoalan ketersedian air bersih serta literasi tentang asupan gizi menjadi hal yang tidak bisa Nusa Tenggara Timur (NTT) masih memiliki “Pekerjaan Rumah” atau “PR” besar untuk persoalan angka stunting yang tinggi. 

Berdasar Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 NTT memiliki 15 kabupaten berkategori “Merah”. Pelabelan status merah tersebut berdasarkan prevalensi stuntingnya masih di atas 30 persen.

Ke-15 Kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Barat Daya, Manggarai Timur, Kabupaten Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka. 

Bahkan Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara memiliki prevalensi di atas 46 persen. Bahkan, lima kabupaten di NTT masuk ke dalam 10 besar daerah yang memiliki prevalensi stunting tertinggi di tanah air. 

Ke lima kabupaten tersebut adalah Timor Tengah Selatan di urutan pertama, Timor Tengah Utara di posisi ke dua, Alor di peringkat ke-lima, Sumba Barat Daya di rangking ke-enam, serta Manggarai Timur di posisi 8 dari 246 kabupaten/kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting.

Sementara sisanya, 7 kabupaten dan kota berstatus “kuning” dengan prevalensi 20 hingga 30 persen, diantaranya Ngada, Sumba Timur, Negekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang serta Flores Timur. Bahkan tiga daerah seperti Ngada, Sumba Timur dan Negekeo mendekati status merah.

Tidak ada satupun daerah di NTT yang berstatus hijau yakni berpravelensi stunting antara 10 hingga 20 persen. Apalagi berstatus biru untuk prevalensi stunting di bawah 10 persen.

Persoalan stunting yang ada di masyarakat kita, tidak saja menjadi urusan pemerintah atau pemangku kepentingan belaka. Persoalan stunting adalah persoalan bangsa yang harus kita tuntaskan bersama dan membutuhkan kolaborasi semua kalangan.

Sudah menjadi komitmen kebangsaan, pembangunan keluarga adalah pondasi utama tercapainya kemajuan bangsa. Apalagi periode 2025 – 2035 merupakan fase puncak periode bonus demografi yang harus dikapitalisasi. Apalagi komitmen Presiden Jokowi agar di 2024 nanti, angka stunting nasional harus berada di angka 14 persen.

Nusa Tenggara Timur yang menjadi salah satu dari 12 provinsi prioritas yang memiliki prevalensi stunting tertinggi menjadi fokus utama dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN). 

BKKBN menggencarkan program percepatan penurunan stunting bersama kolaborasi Sekretariat Wakil Presiden, Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri serta Bappenas.

Kebijakan yang dihadirkan harus menjadi ornament eklusif bagi seluruh elemen bahkan harus menjadi batu loncatan dalam penerapan penurunan stanting dari dulu hingga kini Negara kita selalu mengeluarkan banyak solusi kebijakan yang ada namun implementasi dalam hal praktik di masyakat menimbulkan berbagai spekulatif yang ada.

Bukan hanya menjerit, dalam isunya juga terkait SDA Melimpah, Tetapi Banyak Anak Kurang Gizi.

Paradoks problem anak stunting dan kurang gizi terjadi di negeri berlimpah kekayaan sumber pangan dan energi. Negeri ini memang kaya SDA, tetapi miskin pemimpin amanah yang bertanggung jawab menyejahterakan rakyatnya. 

Terbukti, angka stunting terus meningkat akibat penerapan kapitalisme saat ini.
Guru Besar Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Purwiyatno Haryadi, M.Sc. pernah mengatakan, “Dari sisi kesehatan, bagaimana bisa mengatasi stunting melalui bidang keamanan pangan, seperti kurangnya infrastruktur air bersih? Produksi pangan yang tidak sesuai kaidah cara produksi pangan yang baik (CPBB) menjadi tantangan keamanan pangan di Indonesia.” (Republika).

Pemerintah tidak memastikan perlindungan kesehatan publik dengan membenahi standar keamanan pangan nasional. Butuh merevitalisasi posyandu dan penyuluhan untuk pemberian makanan pada ibu hamil agar terpenuhi nutrisinya.

Dan memastikan terpenuhinya makanan setiap individu rakyat. Mustahil stunting bisa teratasi bila terus melakukan penyuluhan untuk mengonsumsi makanan sehat, sedangkan ketersediaan makanannya tidak mencukupi.

SDA negeri ini menjadi bancakan negara-negara penjajah tanpa meninggalkan apa pun untuk rakyat. Yang tersisa hanya penderitaan dan kemiskinan.

Kemiskinan

Ada banyak hal yang menjadi penyebab stunting di Indonesia.  Namun, kemiskinanlah yang menjadi penyebab paling utama. Kemiskinan erat kaitannya dengan kemampuan menyediakan bahan makanan bergizi yang berhubungan langsung dengan kecukupan pemenuhan gizi.

Kemiskinan berpengaruh terhadap akses terhadap layanan pendidikan, yang terkait dengan pola asuh dan pola pemberian makanan yang tepat. 

Dengan demikian langkah paling tepat untuk mengatasi stunting adalah pengentasan kemiskinan. Atau dengan kata lain, jaminan kesejahteraan adalah kunci penanganan dan pencegahan stunting.

Islam sebagai Solusi

Penyebab stunting adalah karena minimnya kesejahteraan rakyat. Dalam sistem Islam, kesejahteraan rakyat akan dijamin melalui beberapa mekanisme.

Pertama, ditetapkan setiap muslim laki-laki, khususnya kepala rumah tangga, bertanggung jawab bekerja untuk menafkahi keluarga yang menjadi tanggung jawabnya. 

Hal ini akan didukung dengan lapangan pekerjaan memadai yang disediakan negara, sehingga masing-masing keluarga sejahtera, sehingga tercukupi kebutuhan pokok keluarga, anak-anak terpenuhi nutrisinya dan terhindar dari stunting.

Kedua, mendorong masyarakat untuk saling tolong-menolong jika terjadi kesulitan atau kemiskinan yang menimpa individu masyarakat. Keluarga dan tetangga membantu mereka yang berada dalam kondisi kekurangan, yaitu dengan aturan Islam seperti zakat, sedekah, dan lainnya.

Ketiga, Islam menerapkan sistem ekonomi Islam. Dalam hal kepemilikan, baik individu, umum, dan negara, semua diatur untuk kemakmuran rakyat. Negara menjamin kehidupan setiap individu masyarakat untuk mendapatkan sandang, pangan, dan papan yang layak.

Islam mengupayakan agar pertanian dapat ditingkatkan untuk memproduksi kebutuhan pangan. Tidak ada impor pangan yang akan mematikan harga jual masyarakat. 

Kebijakan pemimpin Islam dalam ketahanan pangan negara dipastikan untuk memenuhi gizi dan nutrisi masyarakat.

Kebijakan Islam adalah politik untuk melayani rakyat, bukan kapitalisasi kepentingan atau keberpihakan pada korporasi. 

Pemimpin Islam adalah pengurus yang bertanggung jawab atas rakyatnya sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad dan Bukhari)

Solusi masalah stunting membutuhkan upaya terstruktur/sistemis yang membutuhkan peranan negara dengan memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, juga pendidikan dan kesehatan yang gratis juga berkualitas.

Stunting bukan hanya dipandang sebatas kurangnya pengetahuan terhadap pemenuhan gizi, tapi karena kondisi kemiskinan yang memaksa warga ada pada kondisi serba kurang (miskin). Maka, kondisi stunting akan terus ada selama permasalahan miskin ini tidak diatasi.

Semua ini hanya bisa diwujudkan dan diatasi secara tuntas ketika Islam diterapkan secara kaffah (menyeluruh) oleh negara sekaligus dijadikan aturan bagi seluruh bidang kehidupan.


Nama : Muhammad Dwi Aprinandhi
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Prodi Ekonomi Syariah)

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis

0 Komentar