"Menjenguk Diri" Refleksi Perayaan Hari Raya


OPINI, Sulselpos.id - Pulang selalu menjadi kerinduan yang menggebu-gebu pada diri tiap orang terhadap tanah leluhur yang pernah dihuni, disinggahi, sebagai tempat kelahiran hingga menjemput kedewasaan. Seperti kebiasaan banyak orang, musim lebaran merupakan tradisi atau ritual tahunan bagi masyarakat khususnya islam dalam merayakan euforia lebaran hari raya, dan merupakan memontum yang terjadi satu kali setahun. Tiap kali menjelang lebaran, berita-berita seputar mudik mulai bertaburan memenuhi beranda media. 

Lebaran adalah waktu-waktu dimana awak media dengan perkakas liputannya takkan kesulitan memilih topik siaran. Lebaran adalah rabat-rabat sekian persen, musim ritel, jasa ekspedisi, maskapai dan seluruh modal transportasi massal menuai panen besar-besaran. Gembira dan bukan kepalan tangan nampak tersampaikan dari raut wajah riang gembira para buruh-buruh yang dapat THR dan cuti satu-dua hari. Waktu personal yang sepanjang hari dirampas oleh rutinitas produksi akhirnya bisa diperoleh walau sebentar untuk menghabiskan di ruang privat bernama keluarga.

Mudik dalam bahasa keseharian adalah berlayar ke hulu atau pulang menuju kampung halaman. Mudik selalu identik dengan tamasyah dan wahana silaturahmi dengan kerabat keluarga di kampung halaman. Layaknya kehidupan, ritus mudik selalu saja menjadi perbincangan hangat di awak media maupun dikhalayak masyarakat ketika menjelang perayaan lebaran tiba.

Dalam waktu yang hampir bersamaan puluhan juta orang melakukan perjalanan secara bersamaan pula, membuat wajah perkotaan pada hari setelah itu, tak lagi memperlihatkan mimik pongah yang mempertontonkan kekerasan, buaian, dan anarkis. Jalanan yang biasanya menjadi pusat permasalahan, pasca-mudik menjadi sepi dari deru percakapan dan bising kendaraan.

Lain lagi halnya dengan kehidupan di desa,banyak kejadian unik dan hal-hal baru yang akan ditemui oleh masyarakat khususnya yang bertempat tinggal dipedesaan. Mulai dari hal yang tak pernah ditemui sebelumnya sampai pada hal yang sudah dianggap tidak relevan lagi dalam kehidupan, tentu akan hadir mengisi selah-selah perayaan euforia mudik yang berlangsung cukup hikmat. Pertukaran kebudayaan, karakter sampai pada perputaran uang yang begitu cepat dan besar nilainya akan nyata diperlihatkan.
 Puluhan triliun rupiah berpindah tangan dari kota ke kota, dari kota ke desa-desa sampai perkampungan kecil. Tentu secara agregat, nilai uang di sini bukan hanya berbentuk cash, namun juga bisa berupa perkakas elektronik, pakaian, bahan makanan, minuman, dan berbagai barang kebutuhan lainnya. Fenomena seperti ini disebut sebagai redistribusi ekonomi atau redistribusi kekayaan dalam pemahaman ekonomi, atau terjadinya perpindahan kekayaan dari satu daerah ke daerah lainnya atau dari satu individu ke individu lain.

Bukankah tradisi mudik diterjemahkan sebagai media untuk menjaga tali persaudaraan dan mempererat hubungan antara masyarakat urban-rural, baik dalam format horizontal maupun vertical, atau proses menjenguk diri?

Dalam hubungan horizontal terjadi antara sesama teman, kerabat, ataupun sanak saudara. Hubungan format vertikal terjalin antara orangtua dan anak-anak, atau antara yang lebih tua dan yang muda. Dalam dimensi sosial, tradisi mudik berarti bisa menjadi budaya positif untuk menjaga keutuhan dan kelanggengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

 Selain itu ritus mudik pula dijadikan sebagai wahana mempertegas etos kerja dan menjernihkan kembali pemikiran-pemikiran yang kejam dari kota, sebab didikan kehidupan di kota lebih kejam dari didikan ibu tiri. Sebuah tradisi tahunan yang menguras banyak uang dalam perputaran sistem kapitalis dan menguras cukup banyak energi setiap individu. Namun hal tersebut bukan menjadi hambatan untuk sampai ke kampung halaman. Sebab kampung seperti punya suara yang terus memanggil manusia yang tumbuh besar dirahimnya untuk kembali pulang.

Kampung bukanlah sebuah tempat yang tak punya daya dihadapan kota yang megah dan gedung pencakar langit. Kampung adalah rumah yang besar tempat metafora dari sebuah akar kehidupan. Kota tidak dapat dengan serta merta menggantikan akar kehidupan rumah di kampung halaman. Kampung senantiasa mengingatkan pada banyaknya genangan kenangan yang sewaktu-waktu menjadi selimut yang menghangatkan kekosongan dan hiruk pikuk, kejenuhan rutinitas di kota. Ia adalah kenangan yang menghidupkan sebab kita bukanlah apa-apa tanpa kenangan.

Selain menjenguk kenangan diwaktu lebaran, ia juga ajang silaturrahmi kemanusiaan juga penting untuk menghilangkan noda dan dosa. Masyarakat perantau atau yang menempuh pendidikan maupun yang ke kota mencari kehidupan yang lebih layak akan kembali kekampung halaman dan menjenguk kedua orang tua yang sudah lama ditinggal, karna hal yang paling menyedihkan ialah melupakan kampung halaman sendiri. Seperti halnya cerita kampung tentang Maling Kundang yang dikutuk karena lupa kampung halamannya sendiri, lupa kampung halaman berarti lupa kedua orang tua yang senangtiasa menanti dan menunggu anak kesayangan untuk pulang dan berkumpul bersama.

Kampung halaman selalu memberi kenangan dan ikatan kehidupan yang sulit untuk di hapus dalam ingatan, sebab disanalah seseorang mendapat genangan kenangan yang begitu berharga dan pendidikan yang tentunya berbeda dengan pendidikan di kota yang di didik oleh gedung gedung megah. Dari berbagai ingatan tersebut, tidaklah mengherankan ketika mudik selalu menjadi tradisi yang dirindukan setiap orang yang berada di perantauan yang panjang, terlepas dari eforia yang membuat manusia lupa dan mendekatkan diri pada sifat keangkuhannya sebagai mahluk sosial.

Penulis : Muhardi, Mahasiswa UIN Alauddin Makassar. andy52619@gmail.com

*Tulisan tanggungjawab penuh penulis*

0 Komentar