Peran Wakaf Dalam Persfektif Teologi Ekonomi Politik Islam


OPINI, Sulselpos.id - Konsep Pemikiran  Teologi Ekonomi Islam adalah konsep  yang dibentuk dalam rangka mewujudkan  aspirasi umat Islam mengenai masalah  perekonomian. 

Permasalahan ekonomi umat manusia  yang fundamental bersumber dari kenyataan bahwa manusia mempunyai kebutuhan dan kebutuhan itu pada umumnya tidak dapat dipenuhi tanpa mengeluarkan sumber daya energi manusia dan sarana yang terbatas. 

Sebaliknya, pendapat Muhamad Abdul Manan mengatakan bahwa umat Islam yang hidup diilhami oleh nilai-nilai ajaran agama Islam, diperintahkan pula oleh syariat untuk mempelajari masalah-masalah minoritas non muslim dalam  sebuah negara Islam khususnya. 

Dimana konsep pemikiran teologi ekonomi Islam ini juga berkaitan dengan perkembangan wakaf di Indonesia.

Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Menurut Badan Pusat Statistik (2010) mencatat 87.18% dari populasi penduduk indonesia atau 207.176.162 jiwa yang beragama Islam. 

Selain populasi muslim yang sangat besar, Indonesia juga memiliki luas tanah wakaf yang paling luas di dunia. 

Saat ini tanah wakaf di Indonesia yang tercatat mencapai 4.952.525.000 meter persegi dengan jumlah 335.300 lokasi, dimana 121 046 belum memiliki sertifikat wakaf dan 214.254 sudah memiliki sertifikat wakaf (SIWAK, 2018). 

Luas ini hampir enam kali luas Singapura. Dengan populasi penduduk muslim yang sangat banyak dan luas tanah wakaf yang sangat luas, wakaf di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar sebagai instrumen pembangunan dan penanggulangan kemiskinan. 

Wakaf merupakan salah satu instrumen dalam ekonomi syariah yang sangat potensial untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengatasi masalah kemiskinan. 

Wakaf memiliki dua sisi hubungan, yakni hubungan kepada Allah dalam bentuk ibadah dan juga sisi hubungan kepada manusia dalam bentuk muamalah. 

Wakaf memiliki fungsi sosial yang dapat memberikan maslahah yang sangat besar untuk masyarakat, baik muslim maupun non muslim, jika dapat dikelola secara produktif dan optimal.

Pemanfaatan wakaf secara social benefit dapat ditelusuri dalam sejarah proide awal di masa Rasulullah SAW. Adapun pelaksanaan wakaf yang pertama dalam Islam dilaksanakan oleh sahabat Umar Bin Khattab terhadap tanah Kahibar. 

Menurut Imam Syafi’I setelah pelaksanaan wakaf Umar Bin Khattab yang diikuti sekitar 80 orang sahabat mewakafkan hartanya. 

Perkembangan social benefit wakaf dapat pula kita jumpai semasa kekhalifaan Ottoman dengan membangun lembaga, organisasi dan bahkan fasilitas infrastruktur dari properti wakaf. 

Berbeda dengan di Indonesia, wakaf sudah lama dikenal namun dalam perkembangan selanjutnya wakaf kurang dikenal dan kurang mendapat perhatian yang serius dari sebagian besar kalangan, baik dari pemerintah, masyarakat, ulama, dan lembaga-lembaga non pemerintah (LSM). 

Jika dibandingkan dengan perkembangan institusi zakat. Kondisi demikian, mungkin bisa diakui. Sebab, dari posisi hukum zakat adalah kewajiban setiap muslim sedangkan wakaf merupakan institusi voluntary (sukarela) dalam Islam. 

Wakaf dalam syariat Islam jika dilihat dari perbuatan orang yang mewakafkan dapat dikatakan bahwa wakaf ialah suatu perbuatan hukum dari seseorang yang dengan sengaja memisahkan atau mengeluarkan harta bendanya untuk digunakan manfaatnya bagi keperluan di jalan Allah atau dalam jalan kebaikan.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. 

Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU No. 41 tahun 2004 yang menyatakan bahwa wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Meskipun di dalam Al-Qur’an tidak ada satupun yang menyebutkan kata wakaf secara jelas dan tegas, namun ada beberapa ayat yang di dalamnya menjelaskan bahwa Allah SWT memberikan jaminan keuntungan dari kebaikan yang dikerjakan dengan kelipatan yang berganda dan tidak terputus. 

Sehingga dapat dipahami, bahwa perintah wakaf secara luas memang terdapat di dalam Al-Qur’an.

Adapun Hadis yang menjadi dasar dari wakaf yaitu :

Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a. berkata, Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila manusia mati, putuslah amalnya kecuali tiga (perkara): Shadaqah jariyah atau ilmu yang diambil manfaatnya atau anak saleh yang berdoa untuk orang tuanya. (HR. Muslim)

Dari hadis diatas, memberikan gambaran kepada kita bagaimana prinsip- prinsip operasionalisasi wakaf, dengan tidak menjualbelikan, menghibahkan atau diwariskan, terkait dengan perselisihan pendapat oleh para imam mazhab hal ini merupakan dasar yang dijadikan landasan oleh syafi’I dan hanabilah, bahwa tanah khaibar sebagai harta yang diwakafkan tidak lagi dapat diwariskan, diperjualbelikan, dan dihibahkan. 

Jadi, dengan mensedakahkan manfaat atau hasil dari harta yang dimiliki menjadikan harta tersebut dapat dirasakan manfaatnya bagi orang lain dan yang memberikan harta tersebut tetap dapat merasakan manfaatnya samapai diakhirat kelak, selama harta tersebut digunakan sebagaimana mestinya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Agama RI menunjukkan bahwa pengelolaan tanah wakaf di Indonesia masih kurang mengarah kepada pemberdayaan ekonomi karena kebanyakan wakaf tanah tersebut sebagian besar masih berupa wakaf langsung (konsumtif). 

Hal tersebut menunjukkan penggunaan tanah wakaf masih didominasi untuk masjid (44.92%), mushalla (28.50%), makam (4.62%), sekolah (10.52%), pesantren (3.12%), dan sosial lainnya (8.33%) (SIWAK, 2018). 

Menurut Djunaedi dan Almuin (2013), fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya pemahaman keagamaan yang tradisional, kebutuhan rumah ibadah, milik keluarga, milik yayasan, responden masyarakat yang menyatakan bahwa wakaf yang berorientasi profit dapat menimbulkan konflik dan perpecahan sehingga mengganggu kekhusyukan ibadah.

Wakaf dapat memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi suatu negara, yaitu dapat mengurangi pengeluaran pemerintah, meratakan distribusi pendapatan, mengurangi kemiskinan, dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. 

Akan tetapi, saat ini potensi wakaf tersebut belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia. Sebagian besar peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat dan cenderung pada kegiatan ibadah yang lazim, seperti untuk masjid, mushalla, sekolah, madrasah, pondok pesantren dan makam.

Pada perkembangannya, wakaf kini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Islam, dan menjadi penunjang utama dalam kehidupan masyarakat. 

Hal ini bisa dilihat bahwa hampir semua rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam dibangun di atas tanah wakaf.

Namun realitanya juga menunjukkan bahwa wakaf sangat terabaikan kedudukannya dalam peta sistem keuangan di Indonesia. 

Pemikiran pertama yang muncul ketika kita mendengar istilah wakaf adalah wakaf selalu identik dengan identik amal islami yang tak terurus, tidak terkelola berjalan sendiri-sendiri dan kurang benefit. 

Padahal dalam perkembangan sejarah dan di negara-negara lain pengelolaan wakaf sudah sedemikian maju dan professional.

Oleh karena itu, diperlukan komitmen bersama antara pemerintah, ulama dan masyarakat. Selain itu juga harus dirumuskan kembali mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan wakaf, termasuk harta yang diwakafkan, peruntukkan wakaf dan nadzir serta pengelolaan wakaf secara profesional. 

Selanjutnya wakaf harus diserahkan kepada orang-orang atau suatu badan khusus yang mempunyai kompetensi memadai sehingga bisa mengelola secara profesional dan amanah. 

Hal ini penting untuk diimplementasikan mengingat dalam perkembangannya, pengelolaan wakaf menemukan momentumnya dengan melakukan beberapa perubahan kebijakan. 

Dalam hal ini, pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar dalam pemberdayakan wakaf sebagai bagian dalam peningkatan kesejahteraan, bahwa wakaf adalah alternatif bagi pengembangan kesejahteraan umat.


Daftar Pustaka

Direktorat Pemberdayaan wakaf Dapartemen Agama, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di indonesia, Edisi Revisi ke IV, 2007 

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Ed, II., Cet., II, ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, 2004 

Muhammad Ali Al Sabuni, safwah al Tafaasiir, Juz 1, Baerut: Dar al Fikr, 1976 

Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Cet.I. Jakarta: Ui-Press 1988 

Oliver Sheldon, The Philosophy of Management, Prentice Hall, Inc, 1932 

[SIWAK] Sistem Informasi Wakaf. (2018) Data Penggunaan Tanah Wakaf Indonesia [internet]. [diunduh 2018 April]. Tersedia pada: http://siwak.kemenag.go.id/index.php

Suparman Usman, Hukum Perwakafan di indonesia, Serang Daral Ulum Press, 1994

Yuliani, M. (2017) Strategi Optimalisasi Pengelolaan Wakaf di Indonesia [skripsi]. Bogor, Institut Pertanian Bogor.

Penulis : Nirwana Sumarlin 
(Mahasiswa Prodi Ilmu Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Alauddin Makassar) 

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis

0 Komentar