Kebebasan Berekspresi di Indonesia: Jemari Ataukah Jeruji

                         Ahmad Aidil Fahri
OPINI, Sulselpos.id - Hak asasi manusia pada dasarnya merupakan hak bawaan setiap manusia tanpa terkecuali yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak ini berlaku secara universal yang berarti berlaku di seluruh belahan dunia, dengan kata lain dimanapun manusia berada maka disitu pula manusia dilindungi oleh Hak Asasi Manusia, karena Hak Asasi Manusia bukan diberikan oleh masyarakat ataupun berdasarkan hukum positif melainkan diberikan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). 

Salah satu hak yang dimiliki setiap manusia seperti yang dijelaskan diatas ialah Hak atas kebebasan berekspresi, hak ini meliputi kebebasan menyampaikan pendapat/opini, pandangan atau gagasan tanpa campur tangan/intervensi, hak  untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi melalui media apapun tanpa memandang batasan. Kebebasan ini dilakukan baik secara langsung, cetak/tertulis, dalam bentuk budaya ataupun seni melalui media alternatif yang menjadi pilihannya.

Pengaturan tentang kebebasan berekspresi juga telah diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan baik secara internasional maupun secara nasional, hal tersebut bisa kita lihat pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB pada pasal 19 yang dideklarasikan pada 10 Desember 1948, pada Undang-undang Dasar 1945 pada pasal 28 F (Amandemen ke-2 Agustus tahun 2000) serta pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada pasal 14 ayat (2).
Bahkan Presiden Joko Widodo dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI pada 8 Februari 2020 pernah menyampaikan agar masyarakat aktif menyampaikan kritik terhadap pemerintah dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.

Meski banyak aturan yang mengatur tentang kebebasan berekspresi di Indonesia masyarakat justru takut untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah, hal tersebut dibuktikan oleh data dari Komnas HAM RI pada 17 Februari 2021 mengatakan bahwa 26% dari 1.200 masyarakat Indonesia masih dipenuhi rasa takut dalam menyampaikan kritiknya kepada pemerintah. Ketakutan itu muncul diakibatkan banyaknya kasus kritikan terhadap pemerintah yang berakhir di jeruji besi (penjara). 

Salah satu contoh kasus dari banyaknya kasus yang ada ialah kasus yang menyeret I Gede Ari Astina alias Jerinx SID (Superman Is Dead) yang dijerat UU ITE atas kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Jerinx mengunggah gambar tertulis di akun Instagram miliknya pada Sabtu, 13 Juni 2020. Hasil unggahan tersebut, IDI Bali melaporkan Jerinx ke Polda Bali pada Selasa 16 Juni 2020. IDI menilai unggahan Jerinx yang menyebut IDI dan pihak rumah sakit ‘Kacung WHO’ adalah fitnah dan mencoreng nama Ikatan Dokter Indonesia. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar menyatakan Jerinx bersalah dan divonis dengan hukuman satu tahun dua bulan dan denda Rp 10 juta. 

Padahal munculnya UU ITE  pada tahun 2008 adalah sebagai upaya untuk penanggulangan kejahatan dalam memberikan kepastian hukum dan rasa aman atas setiap tindakan transaksi yang dilakukan dalam ruang dunia maya. Namun UU ITE seolah berubah menjadi tangan besi untuk melanggengkan kekuasaan para penguasa dengan membungkam kebebasan berekspresi masyarakat dalam dunia maya. Atau dalam artian ketika UU ITE masih ada maka keaktifan jemari untuk mengkritik pemerintah di media sosial akan berakhir di jeruji.

SAFEnet mengungkapkan bahwasanya ada sembilan pasal karet yang membuat banyak orang dijerat pidana oleh UU ITE, ia juga mencatat bahwa sejak diundangkan pada tahun 2008 hingga 2020 terdapat 486 korban dari UU ITE (sumber: id.safenet.or.id). Selain itu, Koalisi Masyarakat Sipil juga melaporkan bahwa kasus-kasus yang dijerat dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE menunjukan penghukuman mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi, yakni mencapai 88 % (676 perkara).

Dalam prinsip hukum umum yang kita kenal dengan asas Cogitationis Poenam Nemo Patitur diartikan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat dihukum atas apa yang dia pikirkan. Maka, UU ITE harus direvisi karena tidak memenuhi pemenuhan kebebasan berekspresi terkhusus pada pasal 27, 28 dan 29 UU ITE dan dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 28 E ayat (3) tentang kebebasan berpendapat/berekspresi. pemerintah juga harus mampu membedakan antara “kritikan/keluhan” dengan “penghinaan/pencemaran nama baik” agar tidak ada lagi diskriminalisasi yang dialami oleh masyarakat.

Penulis : Ahmad Aidil Fahri
(Mahasiswa Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar)

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*

0 Komentar