Perempuan Makhluk Termarginalkan?

ilustrasi dari Google

OPINI, Sulselpos.id - Di Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ) Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo ada satu kelompok yang sering membahas isu-isu aktual berkait agama, politik, ekonomi dan sosial. Kelompok tersebut terdiri dari guru Madrasah Aliyah Nurul Jadid, yang mengajar materi yang berbeda-beda. Ada guru yang mengajar bahasa arab, matematika, fisika, aqidah akhlah dan alqur’an hadits. Setiap hari materi yang di diskusikan selalu berbeda-beda, biasanya melihat momentum dan isu yang lagi hangat dibicarakan di media sosial.

Tepat pada hari sabtu (06/11) guyub tersebut membicarakan berkait perempuan dalam konteks pembentukan fiqh. Ada salah satu argumentasi yang menyampaikan bahwa perempuan seringkali termarginalkan dalam pembentukan hukum (fiqh). Ia mengira bahawa ada politik kekuasaan yang mendominasi dari pihak laki-laki sehingga ruang untuk perempuan terbatas dan selalu menjadi orang nomer dua. Pendapat yang lain mengatakan dengan adanya beberapa hukum yang ada, dan dipandang “memarginalkan” perempuan itu merupakan sesuatu yang sangat memihak kepada perempuan, bahkan bisa dibilang mengangkat derajat seorang perempuan.

Dalam beberapa hal memang antara perempuan dan laki-laki tidak bisa disamakan. Perbedaan itu tidaklah dimaksud untuk membatasi dan atau memarginalkan kaum hawa. Sebab pada prinsipnya kaum laki-laki dan perempuan dalam konteks beberapa hal dalam fiqh tidak bisa disamakan. Diskusi menjadi berkembang karena diantara peserta diskusi mengatakan bahwa shalat jum’at hukumnya tidak wajib tapi ia menyebutkan bahwa itu versi syiah, yang lain mengatakan wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan, sementara ada yang mengatakan wajib bagi semuanya. 
Peserta yang lain nyeletuk, kata siapa syiah tidak mewajibkan? Wong di iran pusatnya syiah mewajibkan shalat jum’at. 

Pada diskusi itu kita menyadari kekurangan dalam membaca, sedikit referensi yang kita miliki membuat diskusi agar liar kemana-mana. Namun paling tidak ruang-ruang diskusi oleh guru masih terus ada, terutama di Madrasah Aliyah Nurul Jadid. Guru itu harus banyak baca dan diskusi biar wawasannya luas. Kalau guru tidak suka membaca dan mencukupkan ilmu yang dimiliki, dan anti untuk melakukan diskusi keilmuan dengan guru-guru yang lain, hal itu akan mengantarkan kevakuman di dalam berdialektika. 

Saya mencoba untuk memberikan respon berkait hal itu. Memang dalam beberapa hal tidak sama antara laki-laki dan perempuan. Misalnya perbedaan dalam melaksanakan shalat. Bagi perempuan yang haid tidak wajib mengerjakan shalat, bagi perempuan tidak dianjurkan untuk shalat di masjid apabila dikhawatirkan ada fitnah, dan diperbolehkan tidak berpuasa saat mengandung anak dan menyusui meskipun harus mengganti dan membayar kaffarat. 

Menuntut kesetaraan antara laki-laki di mata hukum sepertinya tidak akan bisa. Selain dari banyak hal yang menjadi pertimbangan hukum, secara kodrat Perempuan tidak sama dengan laki-laki. Bagi kita yang terus mewacanakan kesetaraan gender itu akan menjadi problematika tersendiri tanpa memiliki referensi yang kuat. Berbicara banyak persoalan harus dibarengi dengan kapasitas keilmuan, lebih-lebih berbicara berkait masalah hukum islam.

Kesimpulannya, benarkah perempuan makhluk termarginalkan? Disini penulis mengutip pendapat KH. Nasaruddin Umat, ia mengatakan bahwa Agama Islam menjunjung tinggi kaum perempuan dan kesetaraan.
“Dalam Al-Quran menyebutkan orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa. Jadi, hal ini tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, kewarganegaraan, warna kulit, dan lainnya. Agama Islam sangat menjunjung tinggi kaum perempuan dan kesetaraan,” tegas KH. Nasaruddin Umar.

Al-Quran telah memberikan isyarat bahwa kaum perempuan bisa menjadi sukses dan menjadi pemimpin melalui 3 (tiga) surat yang mengisahkan Ratu Balqis. Bahkan, Rasulullah SAW menjadi yang pertama mengizinkan perempuan untuk ikut ke medan perang. Rasululllah SAW sendirilah yang memproklamirkan kemerdekaan perempuan.

KH. Nasaruddin Umar juga menceritakan dahulu kala sebelum Agama Islam datang ke muka bumi (zaman Pra Islam), kaum perempuan tidak diperbolehkan mendapatkan warisan. Namun, saat Islam datang, perempuan memperoleh hak atas waris. Pada zaman Pra Islam juga kelahiran perempuan tidak boleh di-aqiqah-kan (pesta kelahiran), namun Rasulullah SAW mengatakan bahwa perempuan juga bisa di-aqiqah-kan. Selain itu, pada zaman Pra Islam, mahar perempuan diterima oleh wali, namun setelah Agama Islam datang, perempuan berhak menerima mahar perkawinan. 
“Persoalan terkait ketidaksetaraan gender bukan persoalan agama, melainkan budaya dan penafsiran agama yang kurang tepat, sehingga perempuan menjadi korban. Berhentilah melakukan pendzaliman atas nama agama.


Penulis  : Ponirin Mika
(Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton, Probolinggo dan Anggota Community of Critical Social Research)

0 Komentar