Petani dan Hak Atas Tanah


OPINI, Sulselpos.id---Pemikiran yang menolak terperangkap dalam sebuah diskursus yang selalu saja menganggap bahwa segala sesuatu yang dianggap instan ataupun mudah didapatkan merupakan sebuah jalan menuju kehidupan yang sejahtera. Sebab untuk mendapatkan kehidupan yang layak ditengah tindakan Negara yang semakin kejam, dibutuhkan perlawanan seimbang untuk mendapatkan kehidupan sejahtera.


Sedikit kita merefleksi pengetahuan terkait Hak atas hidup di Negara Republik Indonesia ini, jelas kita ketahui bersama bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum bagi Negara Republik Indonesia, karena segala kehidupan negara Indonesia berdasarkan pancasila, juga harus berlandaskan hukum. Semua Tindakan kekuasaan dalam masyarakat harus berlandaskan hukum. 


Beberapa Tokoh juga berpendapat demikian, seperti yang dikatakan oleh Notonegoro bahwa,

“Pancasila adalah dasar falsafah dan ideologi negara yang diharapkan menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia sebagai dasar pemersatu, lambang persatuan dan kesatuan, serta sebagai pertahanan bangsa dan negara Indonesia”.


Nahh jelas sudah mungkin dari maksud dari pancasila ini sebagai landasan dari segala hukum di Indonesia.


Disini akan dibahas mengenai masalah hak-hak yang mengatur tentang hak hidup dan hak-hak kesetaraan manusia (Egalitarianisme) serta Hak tidak di perlakukan sewenang-wenang. Kehidupan tentunya memiliki beberapa unsur penopang, salah satu contohnya adalah tanah. Tanah sendiri mempunyai beberapa dimensi, diantaranya dimensi spiritual, ekonomi, sosial, dan budaya. Maka dari itu, kehidupan dan tanah merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat kita pisahkan, sebab manusiapun berasal dari tanah danmemperoleh bahan sandang, pangan dan papan dari tanah pula.


Dalam menjaga sumber pangan dalam sebuah kehidupan, peran seorang petani tentunya sangat besar, dimana mereka tetap mempertahankan hidup baik perorangan, keluarga bahkan sebuah Negara, tentunya juga dari hasil pertanian dapat dijual dan menjadi pokok perekonomian bagi seorang petani ini.


Akan tetapi, jika kita melihat realita-realita yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia bahkan diseluruh penjuru dunia, banyak kemudian yang ditemui kasus-kasus perampasan lahan pertanian dan kawasan adat yang dilakukan oleh oknum tertentu bahkan juga ada yang dilakukan oleh Negara, dengan berbagai alasan yang dimunculkan mulai dari pembebasan kawasan hutan hingga pendirian tambang dan pabrik industri yang katanya akan menyerap tenaga kerja disekitaran lokasi pendirian tambang atau pabrik ini, namum jika kita berpikir jauh kedepan, apakah ketika kita menjadi buruh, apakah perekonomian dapat terjamin sampai ke anak cucu kita nanti? tentu saja tidak. 


Sedangkan ketika kita bertani dan menggarap itu kemudian nilai-nilai kehidupan ekonomi sosial dan budaya akan tetap dirasakan hingga pada generasi selanjutnya. Ini merupakan sebuah ironi yang dapat kita sebut sebagai kejahatan sosial serta pencabutan hak atas hidup yang dilakukan oleh Negara terhadap warganya.


Tentunya para petani yang merasa tidak adil dengan tindakan yang mereka dapatkan, banyak dari mereka yang melakukan berbagai cara perlawanan, mulai dari tahap mediasi hingga melakukan sentuhan fisik dengan para aparat keamanan yang di turunkan untuk mengamankan lokasi para petani yang sudah masuk dalam klaim oleh oknum ataupun Negara. Dan tidak sedikit pula warga yang berprofesi petani ini mendapatkan tindakan kekerasan bahkan sampai tindakan penghilangan nyawa yang dilakukan oleh aparat. 


Salah satu contoh kasus penganiayaan dan pembunuhan yang menimpa Salim Kancil, Lumajang. Pada tahun 2015 dia dibunuh lantaran keresahan kepala desa selok awar-awar, Lumajang tehadap salim yang dimana sebelumnya salim aktif menolak pendirian tambang pasir di wilayah tersebut, sehingga membuat Kepala Desa itu mengirimkan 40 orang preman untuk membunuh salim di gang kecil dengan menggunakan balok dan batu.


Perlawanan para petani ini bukan tanpa alasan, selain mempertahankan sumber pencaharianya juga mereka melawan karna segala unsur administrasi terkait tanah yang digarapya. Mereka dapat tunjukkan dan merasionalisasikan sesuai dengan aturan yang berlaku. Akan tetapi, kepentingan-kepentingan yang muncul itu seolah mematikan nilai sosial dan budaya yang ada, sehingga keributan dan kegaduhan antara petani dan oknum tertentu bahkan Negara tidak akan berhenti. Bagaimana tidak, pihak petani mempertahankan kepentingan hidupnya serta keluarganya, sedangkan oknum atau Negara mengatakan bahwa ini kepentingan Negara.


Jika kedua kepentingan ini dihadapkan, dengan kedua belah pihak yang juga tidak mau tau dengan kepentingan dari lawanya, maka tidak bisa dipungkiri lagi, kekerasan bahkan penghilangan nyawa itu akan terus terjadi, sudah dapat kita prediksi dari kasus ini siapa pemenangnya, jika Negara dengan petani yang bertikai. Petani dengan modal keberanian dan kebenaranya, sedangkan Negara dengan aparat dan senjatanya.


Padahal jika kita membuka isi dari pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan, dan keselamatan”, pasal ini menandakan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan orang lain wajib menghormati dan menjaga hak paling dasar setiap manusia. Bahkan semua tindakan yang mengarah kepada hilangnya jiwa, seperti menyerang, mengancam, memukul, melukai, meracuni, dan apapun yang menyebabkan tercabutnya hak hidup manusia menjadi terlarang. Ini merupakan prinsip pokok HAM berbasis “Hukum Kodrat”.


Dari sini muncul lagi sebuah pertanyaaan, apakah sebenarnya yang ditarget oleh sebuah Negara, ketika sebuah Negara yang seharusnya menjamin keberlangsungan hidup warganya justru menjadi ancaman besar bagi mereka para kaum tani, petani yang hanya membutuhkan lahan pertanian untuk melangsungkan hidup bagi keluarganya dan para generasi anak cucunya nanti. Akan tetapi, hal ini sepertinya tidak akan terjadi jika tidak ada perlawanan yang seimbang juga perhatian bagi mereka para kaum tani.


Dari uraian tulisan diatas, saya teringat perkataan Thomas Robert Malthus “Bahwa salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian adalah dengan memperbanyak angka kematian dan memperkecil angka kelahiran”.  


Tapi, apakah ini sejalan dengan isi dari pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)? Meskipun DUHAM tidak memiliki kekuatan resmi secara hukum, prinsip-prinsip dasarnya telah menjadi Standar Internasional di seluruh dunia dan banyak Negara memandangnya sebagai hukum internasional, di Indonesia sendiri HAM didefinisikan dalam piagam HAM yang tetap diatur dalam undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU 39/1999). Adapun pelaksanaanya harus sesuai dengan Pancasila UUD 1945, piagam PBB, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Entahlah, mungkin persepsi Negara dengan hal tersebut berbeda dengan persepsi kita para kaum tani. Tutupnya.


Penulis : Muh. Rizal


*Tulisan Diluar Dari Tanggungjawab Redaksi*


Editor: Anthy

0 Komentar