Bagaimana Membentengi Dilema Publik Atas Vaksin di Sinjai?


OPINI, Sulselpos.id - Suasana masih mencekam oleh bayang-bayang covid-19, sejak beberapa tahun belakangan rasanya untuk minum kopi pun terasa hambar. Toh, segala aktivitas dan ruang gerak dipantau. 

Orang-orang jadi takut  bergerak, bahkan untuk keluar rumah rasa-rasanya kita merasa berat. Menjadi kaum rebahan adalah pilihan strategis, tetapi sebagai pemuda hal tersebut merupakan kesalahan. Dimana kita dituntut oleh banyak hal untuk tetap produktif.

Tapi terlepas dari pengantar singkat di atas, saya ingin menarik perhatian kalian dengan satu keanehan luar biasa yang sangat kontoversial terus dilakukan pemerintah di negeri ini, tak lain adalah penangkal dari misteri yang saya sebutkan di awal yaitu vaksin, diklaim oleh pemerintah sebagai penangkal covid-19.

Anehnya, soal vaksin ini seolah menjadi kebutuhan publik yang harus, di lain sisi menjelma bak monster yang menakutkan. Kenapa tidak? Para tenaga kesehatan berupaya memenuhi target nyaris di setiap Kabupaten untuk mencapai 70%.

Akibatnya, tenaga kesehatan nampak kewalahan bahkan memaksakan diri mendatangi rumah-rumah warga dengan pengawalan ketat pihak keamanan yang betul-betul membuat masyarakat seolah kembali ke orde baru dengan hegemoni yang lumayan picik. 

Diketahui bersama bahwa jangankan ditembak, masyarakat awam baru melihat pakaian militer dan pihak keamanan saja takutnya bukan main.

Betul bahwa melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020, Indonesia telah mengumumkan status kedaruratan kesehatan. Berbagai upaya dilakukan dalam rangka mengatasi dampak pandemi Covid-19. 

Salah satunya adalah upaya vaksinasi. Tetapi realisasi dari berbagai kebijakan seperti ini sungguh menimbulkan dilema di tengah-tengah masyarakat. Hal serupa terjadi di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan.

Sehingga menjadi tanggung jawab pemuda terutama mahasiswa untuk meluruskan asumsi dan kebingungan publik untuk menentukan sikap sosial dan politiknya terutama menentukan pilihannya dalam dunia kesehatan.

Sebagaimana, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 5 ayat (30) dengan tegas bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan pelayanan Kesehatan yang diperlukan dirinya. 

Menjadi rujukan demokratis untuk lebih rasional menuntun apalagi menyerukan ke publik tentang apa-apa yang semestinya dilakukan.

Walau Amnesti Internasional Indonesia mengatakan adanya sanksi terhadap seseorang yang menolak vaksinasi terutama sanksi administrasi menciptakan pemaksaan yang telah melanggar Hak Asasi Manusia. 

Dengan jelas, Pasal 41 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan “Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh”.

Hal serupa dilansir CNBC Indonesia, WHO mengatakan bahwa sebenarnya vaksinasi tidak diwajibkan untuk seluruh populasi, bahkan Amerika Serikat dan Perancis pun tidak mewajibkan program vaksinasi Covid-19 ini.

Belakangan timbul surat  edaran. Panitia Pemilihan Kepala Desa (PPKD) Kabupaten Sinjai melalui surat penyampaian yang belakangan beredar bahwa syarat untuk menyampaikan hak pilih dalam pemilihan calon kepala desa di pilkades mendatang, adalah harus memperlihatkan bukti vaksinasi covid-19. 

Pun bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi di mana setiap orang walau cacat sekalipun, berhak menentukan sikap politiknya.

Juga jelas, UU 1945 Pasal 43 ayat (1) “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, dan seterusnya.

Terutama dalam dunia demokrasi ini, setiap warga negara sangat berperan penting dengan jalannya pemerintahan, sehingga memilih dan tidaknya (HAK) seseorang hanya bisa dicabut melalui pengadilan.

Penulis : Wahyudi Kurniawan
(Pemuda Desa Lamatti Riaja, Kecamatan Bulupoddo)

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis

0 Komentar