Reformasi Pertanian dan Inovasi Lokal


OPINI, Sulselpos.id - Keinginan untuk reformasi pertanian sebagian didorong oleh kerawanan pangan yang terus-menerus. 

Ketidakteraturan yang mendalam dalam mengamankan pasokan biji-bijian berlanjut sepanjang periode modern awal dan diperparah oleh cuaca yang tidak dapat diprediksi dan ketidaksetaraan sumber daya.(Pertanian et al., n.d.) 

Ada lima hal yang harus dibenahi dalam mewujudkan reformasi pertanian. Pertama mengenai pasokan dan produksinya.

Masalah keterbatasan lahan pertanian dan irigasi, harus lebih disoroti penanggulangannya. Pasalnya, mayoritas para petani Indonesia hanya memiliki lahan garap pertanian di bawah 1 hektar (Ha), yakni 0,25 Ha, (Kompasiana, 2020).

Keterbatasan lahan tersebut kemudian mengakibatkan penggunaan mekanisasi pertanian ikut menjadi terbatas. Alhasil, produksi pertanian pun kurang optimal. 

Masalah ketersediaan lahan pun diperberat dengan masih berlangsungnya konversi lahan di berbagai daerah di Indonesia. Karenanya, harus diupayakan secara lebih serius lagi tentang pengadaan lahan pertanian baru.

Hal kedua untuk pembenahan pertanian adalah infrastrukturnya. Infrastruktur pertanian sangat berkaitan erat dengan kualitas hasil pertanian. Dalam hal ini, infrastruktur yang menjadi fasilitas bagi petani itu sendiri, yakni insentif bagi petani.

Tampak kelemahan sektor pertanian Indonesia adalah generasi pertanian yang tidak update. Kaum muda berpendidikan tinggi, enggan menjadi petani karena menganggap masa depan petani kurang menguntungkan. 

Akhirnya kemajuan sektor pertanian Indonesia stagnan dan tetap jauh dari jangkauan perbankan. Ini perlu peningkatan kelembagaan pertanian. 

Yaitu para petani gurem dan yang kecil, diharap membentuk suatu corporate management yang kemudian menciptakan sebuah badan usaha, (Kompasiana, 2020).

Dibadan usaha inilah para petani akan mengatasi kendala infrastruktur pertanian secara bersama-sama. Dengan cara ini, para petani akan menemukan cara untuk mengatasi permasalahan infrastruktur dan pada akhirnya memperkecil risiko usaha. 

Perbankan pun akan lebih melirik petani, apalagi bila petani ikut menciptakan skema pemasaran hasil produksinya tersebut.
Ketiga, reformasi pertanian pada sektor pembiayaan. 

Ini masih berkaitan dengan kendala kualitas hasil pertanian, yakni gejala enggannya perbankan dan bank perkreditan rakyat membantu sektor pertanian. 

Mengintip catatan Bank Indonesia, sebagian besar pembiayaan bagi petani berasal dari perorangan. Hanya maksimal 14% petani yang dibiayai oleh bank dan BPR.(Bank of Indonesia, 2021).

Dan perbankan pun lebih menyenangi pembiayaan pertanian di sektor hilir. Padahal, justru di sektor hulu on farm yang membutuhkan biaya yang besar. 

Perbankan malah lebih tertarik membiayai ekspor dan pengolahan pertanian, sehingga hal ini masih memukul kemampuan produksi pertanian Indonesia. 

Namun dari permasalahan ini, perbankan juga memberi masukan bagi para pelaku pertanian baik di sisi hulu maupun hilir, yakni mengenai resi gudang guna menjaga kualitas pasokan pertanian.(Bank of Indonesia, 2021).

Hal keempat untuk mereformasi sektor pertanian adalah di tata niaga dan distribusinya. Jalur perdagangan yang panjang dari petani ke komsumen tingkat akhir merupakan tantangan yang sejak lama harus dibenahi. 

Pasalnya, untuk bisa menikmati hasil pertanian dar ipetani, jalur perniagaannya harus melewati pengepul, kemudian, distributor, pedagang besar, pedagang ritel, dan akhirnya pedagang kecil. Barulah dari pedagang kecil, konsumen akhir dapat membeli produk pertanian

Daftar Pustaka

Bank of Indonesia. (2021). Indonesia Economic Report 2020 “Synergy to Build Optimism for Economic Recovery.” 74. 

https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan-tahunan/perekonomian/Documents/9_LPI2020.pdf

Kompasiana. (2020). Kompas.

https://www.kompasiana.com/kelvinrh/5cf688a6c01a4c101b72dd66/reforma-agraria-di-indonesia-makin-terang-atau-mundur-kebelakang?page=3

Pertanian, R., Mei, P., & Poitou, A. (n.d.). Reformasi Pertanian dan Inovasi Lokal. 112–132.

Penulis : Muh Andhika Pratama Jaya
(Mahasiswa Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Alauddin Makassar)

Tulisan Tanggung Jawab Penuh Penulis

0 Komentar