Regulasi Perpajakan dan UU Cipta Kerja


OPINI, Sulselpos.id - Keraguan menghinggapi sebagian pihak yang menilai mengapa Undang-undang Cipta Kerja cepat disahkan. Padahal, esensinya bukan soal waktu tetapi apakah produk hukum itu sangat diperlukan. 

Ketika UU Cipta Kerja diputuskan, tak tertutup kemungkinan muncul keraguan dalam memutuskannya. Itu sebabnya, Derrida (1930—2004) menyatakan ‘sebuah keputusan memerlukan lompatan keraguan untuk melahirkan keputusan’. 

Keraguan merupakan kelaziman yang muncul dalam setiap keputusan. ‘Justru dengan berfikir dekonstruktif, keraguan atau kebimbangan menjadi faktor menentukan memutuskan sesuatu’, begitu kata Derrida. 

Keputusan harus diwujudkan supaya jelas kepastian hukumnya dari 76 undang-undang yang dicakup dalam UU Cipta Kerja, tiga diantaranya adalah bidang perpajakan UU PPh No. 7/1983 bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara.

Karena itu perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan merupakan sara peran serta dalam pebiayaan negara dan pembangunan nasional.

UU 36/2008 bahwa dalam upaya mengamankan penerimaan negara yang semakin meningkat, mewujudkan sistem perpajakan yang netral, sederhana, stabil, lebih memberikan keadilan dan lebih dapat menciptakan kepastian hukum.

Transparansi perlu dilakukan perubahan terhadap UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, 9UU 42/2009.

Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang rincian.

"Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak" yang termuat dalam Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tersebut diartikan limitatif dan UU KUP No. 6/1983 jo. UU 16/2009). 

Ada 18 Pasal yang diubah dan dua pasal dicabut dari tiga aturan tersebut. 
Ketika 18 pasal menjadi bagian yang masuk dalam UU Cipta Kerja, analisisnya menjadi jelas bahwa norma itu patut diselaraskan dalam konteks kepastian hukum yang diinginkan UU Cipta Kerja.

Karena ia ditujukan pada kepentingan kebutuhan hukum guna menyelesaikan permasalahan sesuai kebutuhan untuk kepastian. 

Rumusan norma pajak yang diubah dan masuk dalam UU Cipta Kerja telah memberi warna baru bagi politik hukum penyusunan norma dalam satu undang-undang. 

Keberadaan UU Cipta Kerja tentu sejalan dengan cara berpikir Derrida guna memutuskan adanya keraguan dalam praktek perpajakan yang selama ini dinilai belum berkepastian hukum.

Keberadaan Bentuk Usaha Tetap (BUT) dalam Pasal 111 UU Cipta Kerja adalah contoh perlunya penambahan ayat (1a) dalam Pasal 2 UU PPh bahwa ‘BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan’. 

Rumusan norma BUT boleh jadi dipandang penting memberi kejelasan kepastian hukum terkait dengan pungutan PPN melalui sistem elektronik (PMK-48/PMK.03/2020). Rumusan norma lain adalah hitungan sanksi berkaitan dengan pembetulan SPT yang telah disampaikan wajib pajak. 

Politik hukumnya UU menyerahkan kepada Menteri Keuangan dengan hitungan yang akan diatur lebih lanjut berkaitan sanksi dengan besaran tarif bunga, sehingga pengaturannya lebih luwes. Rumusan norma lain adalah Pasal 8 UU KUP yang diubah melalui Pasal 113 UU Cipta Kerja. 

Poin penting sanksi administrasi tampaknya tetap mendominasi dalam cara bekerjanya pajak. Artinya, ruang kesempatan luas diberikan kepada wajib pajak untuk membetulkan SPT sepanjang dilakukan dengan jujur (benar). 

Bahkan, kepada wajib pajak diberikan keringanan satu kali lebih kecil berkaitan dengan rumusan norma Pasal 44B mengenakan sanksi administrasi hanya 3 kali (semula 4 kali) dari pajak kurang bayar sebagai pengganti tindakan penghentian penyidikan pidana pajak. 

Rumusan norma membuktikan negara butuh banyak uang pajak untuk keperluan pembangunan. Norma Pasal 8 dan Psl 44B menjadi andalan bagi negara merumuskan politik hukum penyusunan norma pajak dalam undang-undang bahwa pengenaan sanksi kepada wajib pajak tetap mengutamakan sanksi administrasi, sedangkan pidana sebagai ultimum remedium (upaya terakhir).

Namun problem kepastian hukum timbul saat terjadi pidana pajak. Prinsip ultimum remedium sejauh ini tidak memiliki parameter yang jelas, sehingga timbul diskresi hendak memilih Pasal 44B atau memidana wajib pajak. 

Pada akhirnya terjadi ketidakpastian hukum rumusan norma yang dapat menjadi dilema hukum bagi penyidik dan juga dapat merugikan wajib pajak. 

Dengan kata lain, pidana pajak sebagai ultimum remedium atau primum remedium mestinya dirumuskan dalam undang-undang guna menghindari diskresi penyidik. Namun dapat disadari bahwa pajak bersifat memaksa dan esensinya tidak ditujukan secara fisik tetapi pada harta benda milik wajib pajak. 

Seperti dikatakan Montesquieu, ‘Pungutan pajak adalah bagian tertentu dari harta milik setiap warga negara yang disisihkan untuk mengamankan atau untuk bisa menikmati secara wajar harta milik yang selebihnya’. 

Sekalipun pajak bukan urutan pertama penghambat investasi, pajak tetap menjadi bagian yang diperhitungkan investor. Alhasil, rumusan norma pajak dalam UU Cipta Kerja menjadi harapan memberi kepastian bagi investor. 

Sejak UU Penanaman Modal Asing No. 1/1967 dicabut dan diganti dengan UU No. 25/2007, fasilitas perpajakan menjadi bagian tidak terpisahkan untuk dapat diberikan bagi penanaman modal (Pasal 18 ayat 4). Sekalipun demikian, lahirnya UU Cipta Kerja menimbulkan dua pertanyaan lain. 

Pertama, apakah regulasi pajak sudah selesai? Kedua, bagaimana nasib regulasi RUU KUP, PPh, dan PPN yang sudah masuk dalam Prolegnas? Nampaknya belum memperoleh kejelasan hukumnya dari pemerintah. 

Menurut penulis, mestinya tetap dilanjutkan karena regulasi pajak tidak hanya terkait cipta kerja tetapi memiliki cakupan lebih luas dari itu.

Penulis : Firdaus 
(Mahasiswa Institut Agama Islam Muhammadiyah Sinjai)

Tulisan tanggung jawab penuh penulis

0 Komentar