Kebijakan Moneter Terhadap UMKM di Indonesia



OPINI, Sulselpos.id--- Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), merupakan salah satu sektor strategis dalam perekonomian nasonal, tercermin dari besarnya penyerapan tenaga kerja di sektor UMKM. 


Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 menyebutkan jumlah tenaga kerja di sektor UMKM sebesar 107,6 juta pekerja atau sekitar 97 persen dari jumlah pekerja di Indonesia. Sebagian besar tenaga kerja berada pada usaha Mikro yang mencapai 90 persen. Adapun persentase tenaga kerja pada usaha Kecil dan Menengah masing-masing mencapai 4 persen dan 3 persen.


Saat ini, Indonesia dihadapkan pada keterbukaan ekonomi dunia. Hal ini membuka peluang akses pasar dan peningkatan pendapatan (devisa). Situasi ini berdampak kepada pelaku ekonomi domestik, termasuk sektor UMKM. Sektor UMKM didorong terhubung dengan rantai nilai global (Global Value Chain/GVC) dan meningkatkan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, peningkatan keterlibatan UMKM dalam GVC masih dihadapkan pada kendala permodalan dan pemasaran.


Guna mengatasi permasalahan permodalan UMKM, pemerintah memberikan dukungan fasilitas pembiayaan yang berasal dari perbankan. Dengan melalui alokasi anggaran pemberian jaminan kredit dalam Program KUR. Data Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa sejak November 2007 sampai dengan November 2014, jumlah KUR yang berhasil disalurkan mencapai Rp159,2 triliun kepada 12.145.201 debitur.


Perkembangan pemanfaatan fasilitas KUR bagi UMKM melalui Bank Umum menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2012, total kredit melalui skema Kredit dengan Penjaminan Tertentu mencapai Rp39,7 triliun, meningkat menjadi Rp48,3 triliun pada tahun 2014. Penyaluran KUR bagi usaha Mikro, Kecil, dan Menengah tahun 2012 masing-masing sebesar 43 persen, 51 persen, dan 6 persen. Pada tahun 2014, program KUR dimanfaatkan oleh sektor usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, masing-masing sebesar 56 persen, 40 persen, dan 4 persen.


Data Bank Indonesia yang dirilis BPS menunjukkan perkembangan kredit UMKM pada Bank Umum mengalami peningkatan. Pada tahun 2012, kredit sektor UMKM sebesar Rp526,3 triliun, meningkat menjadi Rp671,7 triliun pada tahun 2014. Penggunaan kredit bank tersebut sebagian besar, 73 persen, digunakan untuk tambahan modal kerja, sementara sisanya digunakan untuk kegiatan investasi.


Sejak merebaknya pandemi Covid-19, Bank Indonesia (BI) terus memperkuat seluruh instrumen bauran kebijakan untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah, mengendalikan inflasi, dan mendukung stabilitas sistem keuangan. Pada saat yang sama, BI juga giat mencegah penurunan kegiatan ekonomi lebih lanjut melalui koordinasi erat dengan Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).



Bauran kebijakan BI tersebut terdiri dari enam aspek penting. Pertama, penurunan suku bunga kebijakan moneter (BI7DRR) empat kali hingga Juli 2020 masing-masing sebesar 25 bps. Penurunan suku bunga kebijakan ini konsisten dengan perkiraan inflasi yang rendah dan terkendali pada kisaran sasaran 3+1 persen, serta untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.


Kedua, BI juga melakukan stabilisasi dan penguatan rupiah melalui peningkatan intensitas kebijakan intervensi baik di pasar spot, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), maupun pembelian SBN dari pasar sekunder. Stabilisasi rupiah juga diupayakan melalui penurunan wajib minimum (GWM) valuta asing, penurunan GWM rupiah untuk banyak yang melakukan kegiatan ekspor-impor, pembiayaan UMKM dan sektor prioritas lain, serta peluasan jenis underlying transaksi bagi investor asing.


Ketiga, BI terus memperluas instrumen dan transaksi di pasar uang dan pasar valas dengan menyediakan lebih banyak instrumen lindung nilai terhadap risiko nilai tukar rupiah melalui transaksi DNDF; memperbanyak transaksi swap valas; menyediakan term repo untuk kebutuhan perbankan; serta memperkuat operasi moneter dan pendalaman pasar keuangan syariah melalui berbagai instrumen. BI juga memperkuat instrumen term deposit valas guna meningkatkan pengelolaan likuiditas valas di pasar domestik serta mendorong perbankan untuk menggunakan penurunan giro GWM valas yang telah diputuskan BI.


Keempat, untuk mendorong pembiayaan bagi dunia usaha dan pemulihan ekonomi nasional, BI telah melakukan injeksi likuiditas (quantitative easing) ke pasar uang dan perbankan dalam jumlah yang besar. Hingga 14 Juli 2020, BI telah melakukan injeksi likuiditas sekitar Rp 633,24 triliun yang dilakukan, antara lain melalui pembelian SBN dari pasar sekunder; penyediaan likuiditas perbankan dengan repo SBN; swap valas; serta penurunan giro wajib minimum (GWM) rupiah.


Kelima, pelonggaran kebijakan makroprudensial untuk mendorong perbankan dalam pembiayaan dunia usaha dan ekonomi. Hal ini dilakukan melalui pelonggaran ketentuan Loan to Value Ratio (LTV), Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), serta penurunan GWM rupiah untuk pembiayaan dunia usaha, khususnya untuk ekspor-impor maupun untuk UMKM dalam rangka memitigasi dampak Covid-19. Selain itu, diusahakan juga penyediaan likuiditas bagi perbankan dalam restrukturisasi kredit UMKM dan usaha ultra mikro yang telah memiliki pinjaman di lembaga keuangan.


Keenam, kemudahan dan kelancaran sistem pembayaran baik tunai maupun nontunai untuk mendukung berbagai transaksi ekonomi dan keuangan. Hal ini dilakukan melalui pengedaran uang yang higienis, serta dorongan bagi masyarakat untuk lebih banyak menggunakan transaksi nontunai, seperti uang elektronik, internet banking, maupun penggunaan QR Code Indonesia Standard (QRIS). BI juga mengadakan percepatan implementasi ekonomi dan keuangan digital sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi melalui kolaborasi antara bank dan fintech.


Selain itu, pembayaran nontunai juga dimaksudkan untuk mendukung program-program pemerintah dalam menyalurkan dana bantuan sosial, seperti program keluarga harapan (PKH) dan bantuan pangan nontunai (BPNT), program kartu prakerja, dan program kartu Indonesia pintar-kuliah.


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa 

"Pemerintah telah mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional sebesar Rp669,4 Triliun" ungkapnya.


Terdapat enam stimulus yang diberikan pemerintah untuk mendukung UMKM dan koperasi, yaitu subsidi bunga UMKM, bantuan produktif usaha mikro, subsidi imbal jasa penjaminan (IJP), penempatan dana pada bank umum dan insentif pajak untuk restrukturisasi kredit dan dukungan lainnya. Sektor UMKM berkontribusi sebesar 61 persen bagi PDB Indonesia. Jumlah UMKM yang terdampak akibat pandemi sebanyak 64,2 juta atau 99 persen dari seluruh usaha yang beroperasi diseluruh Indonesia.


Dengan adanya bantuan dana dari pemerintah tersebut, banyak pelaku UMKM di pasar sentral sinjai yang berharap dapat menambah modal usahanya, dan memutar kembali barang dagangan mereka yang sebelumnya telah mengalami penurunan omzet. Salah satu program bantuan pemerintah ini cukup membawa udara segar bagi para pengusaha UMKM di Pasar Sentral Sinjai. Misalnya, beberapa pelaku UMKM yang berjualan di Pasar Sentral Sinjai dan di ruko-ruko dekat Pasar Sentral Sinjai yang telah mendapatkan dana bantuan tersebut, mereka bercerita bahwa

“Dari dana bantuan tersebut digunakan untuk membayar sewa tempat usaha yang sudah menunggak lebih dari 3-6 bulan lamanya, dikarenakan keuntungan sehari-hari yang di dapatkan hanya bisa digunakan untuk memutar modal barang dagangan dihari berikutnya” bebernya.


Penulis sangat mengapresiasi kepada pemerintah Kabupaten Sinjai yang turut andil dalam mengambil peran penting kepada para pelaku UMKM yang ada di Kabupaten Sinjai, sosialisasi yang diberikan tentang adanya beberapa progam bantuan dari pemerintah untuk para pelaku UMKM, banyak para pelaku UMKM yang terbantu usahanya, dan semoga harapan kedepannya perekonomian di kabupaten sinjai ini dapat berangsur stabil lagi seperti dulu. 


Penulis : Astidar_Mahasiswa IAIM Sinjai


*Tulisan Diluar Tanggungjawab Redaksi*


Editor: Anthy



0 Komentar