Rentannya Hidup Penduduk Desa

                   Dr. H. Ibrahim, M.Pd
OPINI, Sulselpos.id - Kecenderungan ketimpangan hidup di Indonesia antara daerah perdesaan dan perkotaan masih terus berlanjut. Cerita lama ini nampak masih belum beranjak pergi. Uang yang beredar di kota lebih besar daripada di desa sebaliknya kemiskinan lebih besar di desa daripada di kota. Suatu ironi.
Penelusuran di sentra produksi pangan di Jawa Barat, Jawa Tengah serta komoditas ekspor seperti karet dan kelapa sawit di Jambi, Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah menunjukkan petani dan warga desa makin rentan miskin (Kompas/10/09/18) kembali mengkonfirmasi kecenderungan ketimpangan tersebut. Apa yang menyebabkan itu tentu tidak mudah dijawab. 

Artikel ini mencoba melihat dari dua sisi utama kekeliruan kita. yakni ‘pembangunan yang bias kota’ dan ‘pertanian yang bersandar pada komoditas pasar (bukan pada kemandirian lokal). Seabrek bukti empiris telah dtuliskan oleh penstudi masalah pedesaan dan agraria telah menunjukkan bahwa pilihan ini keliru.

Upaya Memangkas Ketimpangan
Sejak presiden Soeharto turun dari jabatannya, yang disebut masa reformasi, telah banyak presiden dengan kebijakannya untuk memangkas kesenjangan desa dan kota. Susilo Bambang Yudoyono yang memimpin dua periode kepresidenan era ini merumuskan suatu rencana yang kemudian diberi nama Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia atau disingkat MP3EI. Suatu pendekatan multi sektor atas perencanaan pembangunan Indonesia yang menitikberatkan pemangkasan ketimpangan melalui suatu skenario keruangan yang disebut koridor ekonomi. Daerah yang pembangunan ekonominya maju diintegrasikan dengan wilayah di sekitarnya yang pembangunan ekonominya belum maju.

Strategi, yang oleh David Harvey (2009,2010,2013) dalam studinya atas strategi pembangunan yang mirip dengan model MP3EI di China, disebut time space compression. Suatu siasat memadatkan ruang dan waktu dengan cara memperbaiki infrastruktur dan menghubungkan wilayah-wilayah yang dulu menghadapi kendala ketersambungan. Di bawah MP3EI inilah dibangun lebih massif jalan-jalan, bandara, pelabuhan serta perbaikan dan peningkatan status infrastruktur yang telah baik agar dapat menjalankan fungsi penghubung (connectifity) dan pemadatan ruang waktu transaksi ekonomi itu. Sayangnya hasilnya belum cukup memadai.

Di era kepemimpinan presiden Joko Widodo (2015-sekarang) juga menggunakan strategi yang hampir sama. Kita mengenal istilah-istilah yang maknanya ingin memendekkan ketimpangan/memangkas ketimpangan desa dan kota, wilayah pinggiran dan pusat. Beberapa istilah itu sering disebut ‘jalur sutera laut’, ‘pembangunan tol laut’, intensifitas perbaikan jalan darat seperti tol di hampir semua pulau besar atau ‘pembangunan dari wilayah pinggiran republik’ hingga realisasi pembangunan infrastruktur pedesaan dan pembangunan ekonomi melalui dana desa. Tapi nampaknya belum cukup memangkas ketimpangan kota dan desa. Penelitian Kompas terbaru di atas mengkonfirmasi hal tersebut. Menunjukkan desa kita selalu lebih rentan.

Kumpulan pengalaman Lapangan
Selain pembangunan bias kota, kita juga menyaksikan beberapa dekade terakhir, kehidupan petani kita makin rentan karena ketergantungannya atas komoditas pasar. Pengalaman lapangan di Sulawesi tengah daerah subur yang tiga dekade terakhir berubah menjadi pengekspor kakao utama Indonesia selain Sulawesi Selatan dan barat. Banyak diantara petani yang terlibat dalam pertanian kakao yang naik daun ketika krisis moneter akhir tahun 90-an karena meroketnya nilai tukar dollar atas rupiah. Ketika harga kakao dunia anjlok, produktifitas tanaman menurun ditambah hama dan gangguan produksi lainnya, petani lantas defisit dan terhempas (Dian Yanuardi:2015). 

Hal yang sama dirasakan oleh petani rumput Laut di sentra rumput laut di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Kabupaten yang wilayahnya tidak begitu jauh dari kota Makassar dan wilayah pertaniannya makin menyempit, tahun 2007 mendapatkan angin segar dari laut: laut bisa dimanfaatkan menanam tanaman rumput laut. Kala itu harganya bisa mencapai Rp. 20.000 perkilogram. Hingga tahun 2009 masih menjadi masa keemasan ekonomi rumput laut di Wilayah tersebut. Tetapi tahun-tahun setelahnya hingga awal tahun 2018 ketika kami meneliti disana, harganya telah anjlok menjadi Rp.4.000-Rp.5.000,- saja. Padahal untuk memulai produksi ini sebagian besar petani telah menjual lahan pekarangannya yang kecil untuk dibelikan bambu, tali pengikat, botol minuman kemasan bekas dan bibit. Dan ketika harga turun dan tidak berbanding dengan pengeluarannya sebagian mereka bermaksud kembali ke pertanian pekarangannya tapi sudah tak mungkin lagi. Akhirnya, harus membeli komoditas-komoditas yang awalnya bisa diproduksi sendiri seperti beras dan sayuran.

Karakteristik tanaman komoditas pasar yang cenderung bisa naik amat tinggi tetapi bisa tiba-tiba anjlok karena pasar global yang bergejolak membuat petani tak bisa mengontrol potensi resiko tersebut apalagi memitigasinya jika terus berkutat menyandarkan penghidupan pada sektor komoditas pasar.  Membuat kenyataan ekonomi produksi pertanian komoditas ini hanya penambah kenyataan sengkarut kerentanan petani pedesaan saja. Kesadaran akan dua hal yang perlu direorganisasi dan direncanakan ulang mungkin akan sedikit membantu arah pembangunan kita.
 
Penulis : Dr. H. Ibrahim, M.Pd 
(Dosen fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin)
 
 

0 Komentar